Sebagian
orang ada yang mengatakan bahwa ia menderita hidup dalam kemiskinan dan
serba kekurangan karena sudah ditakdirkan Allah. Ia pasrah dengan nasib
yang diterimanya. Ia enggan berusaha karena merasa sudah ditakdirkan
untuk hidup miskin dan serba kekurangan. Ia merasa bahwa dengan bersabar
dalam kemiskinan dan penderitaan merupakan ibadah baginya. Ini adalah
paham yang keliru dan pesimistis.
Apa yang sudah
terjadi, itulah takdir yang tidak bisa dirubah lagi. Kita terlahir
sebagai bangsa Indonesia, suku jawa, sunda atau sebagai bangsa Amerika,
Inggris, Arab dan lain sebagainya. Atau mungkin saja kita lahir dalam
keadaan cacat misalnya buta, bisu atau lumpuh, mengalami kelainan
jantung, lahir kembar siam atau mungkin kita terlahir ditengah keluarga
miskin dilingkungan kumuh atau ditengah keluarga kaya raya bergelimang
kemewahan, itulah takdir yang tidak bisa ditawar lagi. Namun apa yang
dihadapan kita, apa yang akan terjadi adalah tawar menawar antara kita
dengan Allah. Manusia merencana Allah yang menetapkan dan memutuskan.
Allah
telah melengkapi kita dengan perangkat pendengaran, penglihatan, hati
dan fikiran. Allah telah menjadikan bumi berikut berbagai fasilitas
didalamnya bagi keperluan manusia. Firman Allah dalam S Al A’raaf ayat
10:
Sesungguhnya Kami telah menempatkan kamu sekalian di muka bumi dan
Kami adakan bagimu di muka bumi itu (sumber) penghidupan. Amat
sedikitlah kamu bersyukur
( Al A’raaf 10)
Apa
yang sudah terjadi itulah takdir, apa yang akan datang adalah pilihan
bagi setiap orang. Setelah anda lahir kedunia dan sampai pada masa akil
baligh, mampu menggunakan akal fikiran dan bertindak sendiri, Allah
mempersilahkan anda untuk menentukan pilihan bagi masa depan anda. Tetap
berada dalam kemiskinan, serba kekurangan dan menderita atau hidup
dalam serba berkecukupan, nyaman dan bahagia, itu adalah pilihan anda.
Kalau anda berusaha Allah akan memberi apa yang anda inginkan, jika anda
malas, enggan berjuang, menyerah pada keadaan, itulah pilihan anda.
Jangan salahkan Allah atau orang lain.
Apa yang anda
alami sekarang adalah produk dari fikiran anda pada masa lalu, apa yang
akan terjadi pada diri anda dimasa yang akan datang adalah produk dan
penjelmaan dari fikiran anda pada saat ini. Itu adalah sunnatullah,
sebagian orang mengatakan sebagai hukum alam. Fikiran baik akan menarik
berbagai kebaikan kedalam kehidupan anda, fikiran buruk akan menarik
berbagai kemalangan dan nasib buruk kedalam kehidupan anda. Keadaan ini
banyak diceritakan oleh Michael J.Losier dalam bukunya yang populuer
”Law of Attraction” ( Hukum Ketertarikan). Masa depan adalah pilihan
anda sendiri. Allah tidak akan mengubah nasib anda jika anda tidak
berusaha mengubahnya, Allah menyatakan ini dalam firmannya pada S. Al anfal ayat 53:
”Yang
demikian (siksaan) itu adalah karena sesungguhnya Allah sekali-kali
tidak akan merubah sesuatu nikmat yang telah dianugerahkan-Nya kepada
sesuatu kaum, hingga kaum itu merubah apa yang ada pada diri mereka
sendiri, dan sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui,” (
Al Anfal 53)
Kebaikan akan nmenarik kebaikan , keburukan akan
menarik keburukan pula. Sesuai dengan firman Allah dalam S Al Qoshos
ayat 84 dan Ar Rahman ayat 60
” Barang siapa
yang datang dengan (membawa) kebaikan, maka baginya (pahala) yang lebih
baik daripada kebaikannya itu; dan barang siapa yang datang dengan
(membawa) kejahatan, maka tidaklah diberi pembalasan kepada orang-orang
yang telah mengerjakan kejahatan itu, melainkan (seimbang) dengan apa
yang dahulu mereka kerjakan. ( Al Qoshos 84)
Tidak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan (pula). ( Ar Rahman ayat 60 )
Kebaikan
atau keburukan yang akan anda lakukan atau anda dapati dimulai dari
fikiran. Sebagian besar fasilitas yang dinikmati manusia dibumi ini
seperti bangunan rumah, gedung, mall, plaza, pesawat terbang, mobil,
kereta, motor alat rumah tangga dan banyak lagi dimulai dari fikiran
manusia. Sebelum menjelma kealam nyata semua itu ada dalam fikiran
manusia yang merencanakan dan membuatnya. Demikian pula nasib anda
apakah kelak anda akan hidup dibawah garis kemiskinan hidup dalam
keadaan serba kekurangan, atau anda menjadi pengusaha yang sukses hidup
dalam serba kecukupan. Semua itu ada didalam fikiran anda sebelum
menjelma menjadi kenyataan.
Orang yang fikirannya
dipenuhi rasa pesismistis, tidak ada harapan, putus asa rela dengan
keterpurukannya setiap hari hanya mengeluh menyalahkan berbagai pihak
dapat dipastikan hidupnya akan demikian terus. Ia akan mengalami
kemalangan demi kemalangan. Kalau ia menginginkan perubahan dalam
kehidupannya ia harus merubah dulu isi fikirannya. Ia harus mengganti
fikirannya dengan rasa optimis, penuh harapan, bersama Allah tidak ada
yang tidak mungkin. Yakin akan mendapat sukses dan kemenangan.
Selanjutnya mulai mengatur langkah manju tahap demi tahap mencapai apa
yang diinginkannya. Dalam S Al Insyirah ayat 7-8
7. Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain,
8- Dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap.
Ingat
segala sesuatu dalam hidup anda bermula dari fikiran anda. Jika fikiran
anda dipenuhi rasa pesismis, putus asa, tidak ada harapan, hidup serba
kekurangan dan merasa bahwa itu adalah takdir anda maka anda akan
mengalami hidup seperti itu terus sampai akhir hayat. Anda bisa merubah
keadaan anda dengan merubah fikiran anda. Penuhi fikiran anda dengan
rasa optimis, yakin dapat meraih sukses, hidup serba berkecukupan . Alam
semesta akan merespon anda sesuai apa yang anda fikirkan. Itu adalah
sunnatullah, tidak ada perubahan pada sunahtullah. Firman Allah dalam S Al Fath ayat 23:
”
Sebagai suatu sunnatullah yang telah berlaku sejak dahulu, kamu
sekali-kali tiada akan menemukan perubahan bagi sunatullah itu.” ( Al
Fath ayat 23)
Hidup ini adalah pilihan. Anda yang
merencanakan masa depan anda. Allah hanya menyetujui atau menolak apa
yang anda inginkan. Anda punya rencana kemauan dan kehendak demikian
pula Allah. Kehendak dan rencana Allahlah yang berlaku. Jika kepetusan
Allah tidak sesuai dengan keinginan dan kehendak anda bersabarlah jangan
pernah berputus asa dari rahmat Allah. Dia tidak pernah menolak
permohonan hambanya sebagai firman-Nya dalam S Al Baqarah 186: ”…….
Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon
kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah) Ku dan
hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam
kebenaran.”
Allah hanya menunda atau mengalihkan
do’anya kepada hal yang lebih baik dari apa yang diinginkan. Allah lebih
mengetahui apa yang paling baik bagi hambanya.
Jika
anda sudah berfikiran positif namun masih ada kemalangan yang hadir
dalam hidup anda, itu bukan berarti anda telah gagal. Kejadian musibah
atau kemalangan yang anda alami adalah bagian dari kehendak Allah dalam
rangka menguji anda atau Allah akan memberi kejutan atau surprise bagi
kehidupan anda. Allah pasti akan menguji anda dengan kebaikan dan
keburukan, itu adalah ketetapan Allah yang tidak bisa kita bantah. Firman allah dalam S Al Anbiya’ 35:
”-
Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu
dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya).
Dan hanya kepada Kami lah kamu dikembalikan. ( Al Anbiya 35)
Jika
mendapat cobaan dengan kejadian yang buruk bersabar dan tawakallah
padaNya, sambil berusaha untuk keluar dari kesulitan itu. Jika mendapat
kenikmatan bersyukurlah padaNya yang telah memberi berbagai kenikmatan
bagi hidup anda. Jadikanlah hidup ini mudah dan nyaman. Banyaklah
bersyukur pada-Nya.
Bukan tidak mungkin jika anda
bersabar dengan kejadian buruk yang menimpa anda, akan diikuti dengan
kejadian menyenangkan yang tidak anda duga, sebagai diceritakan dalam
kisah berikut ini yang saya kutip dari blog ”erander.wordpress.com”
“Sebuah
desa dipedalaman daratan China, ada seorang petani yang sedang
termenung karena kuda yang biasa digunakan untuk menggarap ladangnya
lari ke dalam hutan yang ada didekat desa itu dan tidak kembali hampir
seminggu. Para tetangga datang memberikan simpati sambil menghibur si
petani. “Kasihan sekali dengan nasib burukmu. Sekarang, tanpa kuda, kamu
ga bisa menggarap ladangmu lagi” tapi si petani berujar, “Aku ga tau
apakah ini disebut dengan nasib buruk ku.”
Seminggu
kemudian ketika si petani sedang mencangkul ladangnya, tiba2 dia
mendengar derap kaki dan ringkikan kudanya. Ketika dilihat kearah
datangnya suara itu, dia kaget karena kuda nya telah kembali dengan 3
ekor kuda betina yang kelihatannya masih liar. Dia senang sekali. Para
tetangga berdatangan dan berkata “Wah, nasibmu benar2 baik kawan.
Sekarang kamu mempunyai 4 ekor kuda” .. si petani berkata datar “Saya
tidak tau, apakah adanya kuda-kuda ini disebut dengan nasib baik atau
nasib buruk.”
Keesokan harinya, anak lelaki si petani
yang beranjak remaja, melihat kuda2 betina tadi berada di kandang.
Sementara yang jantan sedang menggarap ladang dengan si petani – orang
tua remaja itu. Tiba2 dia ingin mencoba untuk naik kuda tersebut
mengingat selama ini kuda yang ada hanya untuk menggarap ladang. Ketika
si remaja baru menaiki kuda tersebut, kuda itu memberontak – maklum
masih liar. Sehingga si remaja terlempar dan jatuh ke tanah dengan kuat.
Si petani kaget dan berlari ke arah anaknya. Para tetangga juga
berdatangan sambil menolong si remaja. “Aduh, kasihan sekali .. betapa
nasibmu buruk anak muda” .. kembali si petani menimpali “Ya kita ga tau
ya, apakah ini nasib buruk atau nasih baik.”
Karena
cidera si remaja cukup parah – kakinya patah – maka dia berjalan
menggunakan kruk untuk beberapa lama sambil meratapi nasibnya. Dua
minggu setelah kejadian tersebut, datang utusan kerajaan ke desa itu
yang mengumumkan akan merekrut remaja desa untuk dijadikan tentara
perang melawan mongolia. Semua remaja diambil kecuali si remaja yang
sedang patah kakinya. Semua tetangga mengatakan .. “Aduh, nasib anak si
petani itu sungguh baik ya. Anak2 kita pergi berperang. Sementara dia
tetap tinggal di desa ini” .. dan lagi-lagi petani itu hanya berkata
“Aku juga tidak tahu, apakah ini disebut nasib baik atau nasib buruk.”
Mudah
mudahan kita bisa mengambil hikmah dari kisah diatas, kita boleh
berencana namun Allah juga punya rencana dan apa yang direncanakan dan
dikehendaki Allah pasti berlaku. . Allah akan merencanakan hal yang
lebih baik bagi kita, jika kita sabar dan selalu bersangka baik padaNya.
Insya Allah.
Manusia Berusaha Mentadbir.. Allah Menetapkan Takdir..
Apa yang anda alami sekarang adalah produk dari fikiran anda pada masa lalu, apa yang akan terjadi pada diri anda dimasa yang akan datang adalah produk dan penjelmaan dari fikiran anda pada saat ini. Itu adalah sunnatullah, sebahagian orang mengatakan sebagai hukum alam. Fikiran baik akan menarik berbagai kebaikan kedalam kehidupan anda, fikiran buruk akan menarik berbagai kemalangan dan nasib buruk kedalam kehidupan anda.

Friday, 7 July 2017
Mengenali Tanda Tanda ALLAH Sayang Kepada Kita
1. Dalam
surah Ali Imran [Keluarga Imran](3:31), Allah SWT berfirman yang
berbunyi: “Katakanlah (wahai Muhammad), jikalau engkau semua mencintai
Allah, maka ikutilah aku, tentu engkau semua dicintai oleh Allah, serta
Allah mengampuni dosamu semua dan Allah itu adalah Maha Pengampun lagi
Penyayang.”
2. Disayangi/dicintai?. Alangkah bahagianya hidup ini jika kita disayangi/dicintai orang. Disayangi
ibu bapa, adik beradik, kawan taulan ataupun bos pejabat. Gembira tidak
terkata lagi kita. Tapi tahukah kita bahawa kemuncak kegembiraan itu
ialah apabila kita disayangi oleh Allah SWT, pencipta alam serta segala
isi di dalamnya termasuk semua manusia. Inilah bahagia hakiki dan abadi
untuk kita, memperolehi cinta Allah. Dengan memperolehinya, in sha
Allah kehidupan kita di dunia dan akhirat pastinya bahagia.
3. Apakah
tanda-tanda Allah sayang/cinta kepada kita?. Pastinya ia sesuatu yang
perlu dicari dalam hidup ini dan beramal dengannya. Antara tanda-tanda
itu ialah:
3.1. ALLAH FAHAMKAN KITA AKAN AGAMANYA
3.1.1.
Dalam surah Al-Mujadilah[Wanita Yang Bersoal jawab] (58:11), Allah
berfirman yang berbunyi:“Wahai orang-orang yang beriman! Apabila diminta
kepada kamu memberi lapang dari tempat duduk kamu (untuk orang lain)
maka lapangkanlah seboleh-bolehnya supaya Allah melapangkan (segala
halnya) untuk kamu. Dan apabila diminta kamu bangun maka bangunlah,
supaya Allah meninggikan darjat orang-orang yang beriman di antara kamu,
dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan agama (dari kalangan kamu)
- beberapa darjat. Dan (ingatlah), Allah Maha Mendalam PengetahuanNya
tentang apa yang kamu lakukan”.
3.1.2.
Rasulullah SAW pula bersabda yang bermaksud: “Apabila Allah mencintai
seseorang maka Dia membuatnya faham mengenai agamanya.”(Hadis Riwayat
Bukhari dan Muslim).
3.1.3. Faham
kepada agama itu tidak akan datang menggolek. Kita perlu berusaha
belajar dan mencari perkara agama. Pasti Allah akan fahamkan kita kepada
agamanya seperti firmanNya itu. Justeru, semasa masih hidup ini
berusahalah kita untuk mencari ilmu agama agar boleh menjadi orang yang
beriman dan bertaqwa.
3.2. MEMILIKI SIFAT CINTA MENCINTAI KERANA ALLAH
3.2.1. Allah
SWT berfirman; “Pasti akan mendapat cintaKu orang-orang yang
cinta-mencintai kerana Aku, saling kunjung mengunjungi kerana Aku dan
saling memberi kerana Aku.” [Hadis Qudsi].
Cinta
yang tertinggi dan paling mulia ialah cinta kepada Allah SWT diikuti
dengan cinta kepada Rasulullah SAW, ibu bapa dan barulah manusia-manusia
lain. Jangan jadikan diri kita orang yang cintakan manusia lain kerana
nafsu syahwat, harta-benda dan keduniaan semata-mata.
3.3. SENTIASA BERZIKIR PADA ALLAH
3.3.1. Diriwayatkan
bahawa Nabi Musa pernah berkata; “Wahai Rabb Ku Yang Maha Mulia,
Bagaimana aku dapat membezakan antara orang yang engkau cintai dengan
orang yang engkau?”. Allah SWT berfirman yang bermaksud: “Wahai Musa,
Sesungguhnya jika Aku mencintai seorang hamba, maka Aku akan menjadikan
dua tanda kepadanya”. Nabi Musa bertanya lagi;“Wahai Rabb, apa kedua
tanda itu?”. Allah SWT menjawab dengan firmanNya: “Aku akan
mengilhamkannya agar dia berzikir kepadaKu, agar Aku dapat menyebutnya
di kerajaan langit dan Aku akan menahannya dari lautan murkaKu, agar dia
tidak terjerumus dalam azab dan siksaKu.”
3.3.2. Begitulah besarnya fadhilat zikir. Perkara yang sangat mudah untuk dilafazkan tetapi tersangat besar kelebihan dan kebaikannya. Namun kerana dorongan iblis ia menjadikan kita leka dan malas untuk berzikir kepada Allah.
3.4. SABAR DAN REDHA DENGAN UJIAN-UJIAN ALLAH
3.4.1. Dalam surah Al-Baqarah[Lembu Betina](2:155),
Allah
SWT berfirman yang berbunyi: “Demi sesungguhnya! Kami akan menguji kamu
dengan sedikit perasaan takut (kepada musuh) dan (dengan merasai)
kelaparan, dan (dengan berlakunya) kekurangan dari harta benda dan jiwa
serta hasil tanaman. Dan berilah khabar gembira kepada orang-orang yang
sabar”. (2:156)
“(Iaitu)
orang-orang yang apabila mereka ditimpa oleh sesuatu kesusahan, mereka
berkata: "Sesungguhnya kami adalah kepunyaan Allah dan kepada Allah
jualah kami kembali." (2:157)
“Mereka
itu ialah orang-orang yang dilimpahi dengan berbagai-bagai kebaikan dari
Tuhan mereka serta rahmatNya; dan mereka itulah orang-orang yang dapat
petunjuk hidayahNya”.
3.4.2. Rasulullah SAW bersabda yang bermaksud;
(i) “Sesungguhnya
besarnya pahala sebanding dengan besarnya ujian. Dan sesungguhnya jika
Allah mencintai suatu kaum pasti Dia menguji mereka. Maka siapa yang
redha (terhadapnya) maka baginya keredhaan Allah, dan siapa yang marah
(terhadapnya) maka baginya kemurkaan Allah.” (Hadis Riwayat Tirmidzi dan
Ibnu Majah).
(ii) “Kalau
Allah menghendaki kebaikan kepada hambaNya, maka akan disegerakan
hukumannya di dunia, kalau mengkehendaki kepada hambaNya keburukan, maka
ditahan (siksanya) kerana dosanya sampai penuh nanti di hari
kiamat.” (Hadis Riwayat Tirmizi)
3.4.3. Oleh itu jika kita diuji oleh Allah dengan pelbagai bentuk ujian maka brsabarlah. Kerana ia adalah salah satu tanda sayang Allah kepada kita. Bersabar adalah sebaik-baik penyelesaian.
3.4.4. Iangatlah sesungguhnya golongan manusia yang sangat hebat dan berat ujian Allah ialah para nabi dan rasul. Ini kerana Allah mahu meninggikan derjat mereka dan supaya kita mampu mencontohi mereka.
3.5. MENGAKHIRI HIDUP DENGAN HUSNUL KHATIMAH
3.5.1.
Rasulullah SAW bersabda yang bermaksud; “Jika Allah mencintai seorang
hamba, Dia akan memaniskannya.”Sahabat bertanya: “Apakah itu
memaniskannya,ya Rasulullah?”
Rasulullah
menjawab;“Dia akan memberinya petunjuk untuk melakukan kebaikan ketika
menjelang ajalnya, sehingga tetangga akan meredhainya (atau ia berkata)
orang sekelilingnya.” (Hadis Riwayat Al-Hakim).
3.5.2. Bagaimana
cara mengakhiri kehidupan dengan husnul khatimah. Melaksanakan segala
perintah Allah dan menjauhi segala laranganNya. Merealisasikan perintah Allah, "amal makruf, nahi mungkar" dalam hidup kita.
4. Sesungguhnya
kehidupan kita di dunia ini sementara sahaja. Selain dari itu ia
sangatlah sekejap. Paling lama pun 70 atau 80 tahun. Justeru
berlumba-lumbalah kita untuk berusaha dan beramal seperti dinyatakan
atas agar kita menjadi hamba Allah yang di cintai dan di sayanginya. Ia
hanyalah sebahagian kecil tip yang dapat saya kongsikan. Ingatlah
bahawa kita tidak boleh masuk syurga kerana solat kita, puasa kita, haji
kita, sedekah kita atau sebagainya. Kita hanya boleh masuk syurga
kerana rahmat dari Allah SWT. Bagaimana memperolehi rahmat
Allah?. Salah satu caranya ialah beramal dengan perkara-perkara yang
disayangi dan dicintai Allah.
“Hidup
ini tumpang menumpang... disitulah lahirnya syukur kita kepada Allah.
Pada sepinggan nasi yang kita makan, disitu ada nasi yang diusahakan
oleh petani, ada ikan yang dicari oleh nelayan, ada ayam yang dipelihara
oleh penternak. Betapa banyaknya pihak yang bekerja untuk memberikan
sepinggan nasi kepada kita..alangkah kerdilnya kita dibumi Allah
SWT...maka siapalah kita untuk menolak agama Allah...?”
Thursday, 8 June 2017
Haramnya Darah, Harta, dan Kehormatan Seorang Muslim
Rasululullah Shallallahu'alaihi Wasallam sangat menekankan masalah penjagaan darah, harta dan kehormatan seorang Muslim
Diantara perkara yang paling agung yang ditekankan oleh Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dalam khutbah beliau ketika Haji Wada, setelah beliau menekankan kembali masalah tauhid dan keikhlasan, adalah perkara penjagaan terhadap hak-hak sesama Muslim dan peringatan keras terhadap pelanggaran hak-hak sesama Muslim. Baik hak-hak yang terkait dengan darah, harta dan kehormatan seorang Muslim. Barangsiapa yang merenungi khutbah Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dan nasehat-nasehat beliau yang agung ketika haji Wada, ia akan menemukan bahwa beliau sangat menekankan dan betul-betul memperhatikan perihal ini. Maka marilah kita renungkan sejenak khutbah tersebut, dari khutbah Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam yang beliau sampaikan di hari Arafah, hari Idul Adha, serta hari-hari Tasyriq.
عن جابر رضي الله عنه في سياق حجة النبي صلى الله عليه وسلم قال : « حَتَّى إِذَا زَاغَتِ الشَّمْسُ أَمَرَ بِالْقَصْوَاءِ فَرُحِلَتْ لَهُ، فَأَتَى بَطْنَ الْوَادِي فَخَطَبَ النَّاسَ وَقَالَ: إِنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ حَرَامٌ عَلَيْكُمْ، كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا فِي شَهْرِكُمْ هَذَا، فِي بَلَدِكُمْ هَذَا… » الحديث . رواه مسلم .
Dari Jabi radhiallahu’anhu di tengah haji bersama Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam: “… sehingga saat matahari tergelincir, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan agar unta Al-Qashwa’ dipersiapkan. Ia pun dipasangi pelana. Lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendatangi tengah lembah dan berkhutbah: ‘Sesungguhnya darah dan harta kalian, haram bagi sesama kalian. Sebagaimana haramnya hari ini, haramnya bulan ini di negeri kalian ini…‘“ (HR. Muslim).
عن ابن عباس رضي الله عنهما أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَطَبَ النَّاسَ يَوْمَ النَّحْرِ فَقَالَ: (( يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَيُّ يَوْمٍ هَذَا؟ قَالُوا: يَوْمٌ حَرَامٌ ، قَالَ: فَأَيُّ بَلَدٍ هَذَا؟ قَالُوا: بَلَدٌ حَرَامٌ ، قَالَ: فَأَيُّ شَهْرٍ هَذَا؟، قَالُوا: شَهْرٌ حَرَامٌ ، قَالَ: فَإِنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ وَأَعْرَاضَكُمْ عَلَيْكُمْ حَرَامٌ كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا، فِي بَلَدِكُمْ هَذَا، فِي شَهْرِكُمْ هَذَا ، فَأَعَادَهَا مِرَارًا ، ثُمَّ رَفَعَ رَأْسَهُ فَقَالَ: اللَّهُمَّ هَلْ بَلَّغْتُ ، اللَّهُمَّ هَلْ بَلَّغْتُ – قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا: فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ إِنَّهَا لَوَصِيَّتُهُ إِلَى أُمَّتِهِ – فَلْيُبْلِغِ الشَّاهِدُ الغَائِبَ ، لاَ تَرْجِعُوا بَعْدِي كُفَّارًا يَضْرِبُ بَعْضُكُمْ رِقَابَ بَعْضٍ )) رواه البخاري .
Dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu’anhuma, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah di hari Idul Adha. Beliau bersabda: “Wahai manusia, hari apakah ini? Mereka menjawab: “Hari ini hari haram (suci)”. Nabi bertanya lagi: “Lalu negeri apakah ini?”. Mereka menjawab: “Ini tanah haram (suci)”. Nabi bertanya lagi: “Lalu bulan apakah ini?”. Mereka menjawab: “Ini bulan suci”. Beliau bersabda: “Sesungguhnya darah kalian, harta-harta kalian dan kehormatan kalian, adalah haram atas sesama kalian. Sebagaimana haramnya hari kalian ini di negeri kalian ini dan pada bulan kalian ini”. Beliau mengulang kalimatnya ini berulang-ulang lalu setelah itu Beliau mengangkat kepalanya seraya berkata: “Ya Allah, sungguh telah aku sampaikan hal ini. Ya Allah, sungguh telah aku sampaikan hal ini. Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma berkata: “Maka demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh wasiat tersebut adalah wasiat untuk ummat beliau”. Nabi bersabda: “Maka hendaknya yang hari ini menyaksikan dapat menyampaikannya kepada yang tidak hadir, dan janganlah kalian kembali kepada kekufuran sepeninggalku, sehingga kalian satu sama lai saling membunuh”. (HR. Al Bukhari).
وعن أبي بكرة رضي الله عنه قال : خَطَبَنَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ النَّحْرِ قَالَ: ((أَتَدْرُونَ أَيُّ يَوْمٍ هَذَا؟ قُلْنَا: اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ ، فَسَكَتَ حَتَّى ظَنَنَّا أَنَّهُ سَيُسَمِّيهِ بِغَيْرِ اسْمِهِ، قَالَ: أَلَيْسَ يَوْمَ النَّحْرِ؟ قُلْنَا: بَلَى ، قَالَ: أَيُّ شَهْرٍ هَذَا ؟ قُلْنَا: اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ ، فَسَكَتَ حَتَّى ظَنَنَّا أَنَّهُ سَيُسَمِّيهِ بِغَيْرِ اسْمِهِ، فَقَالَ: أَلَيْسَ ذُو الحَجَّةِ؟ قُلْنَا: بَلَى ، قَالَ : أَيُّ بَلَدٍ هَذَا ؟ قُلْنَا: اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ ، فَسَكَتَ حَتَّى ظَنَنَّا أَنَّهُ سَيُسَمِّيهِ بِغَيْرِ اسْمِهِ ، قَالَ : أَلَيْسَتْ بِالْبَلْدَةِ الحَرَامِ؟ قُلْنَا: بَلَى ، قَالَ: فَإِنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ عَلَيْكُمْ حَرَامٌ، كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا ، فِي شَهْرِكُمْ هَذَا ، فِي بَلَدِكُمْ هَذَا ، إِلَى يَوْمِ تَلْقَوْنَ رَبَّكُمْ، أَلَا هَلْ بَلَّغْتُ؟ قَالُوا: نَعَمْ ، قَالَ: اللَّهُمَّ اشْهَدْ، فَلْيُبَلِّغِ الشَّاهِدُ الغَائِبَ ، فَرُبَّ مُبَلَّغٍ أَوْعَى مِنْ سَامِعٍ، فَلَا تَرْجِعُوا بَعْدِي كُفَّارًا، يَضْرِبُ بَعْضُكُمْ رِقَابَ بَعْضٍ)) متفق عليه .
Dari Abu Bakrah radhiallahu’anhu, ia berkata: Nabi Shallallahu’alaihi Wasalllam berkhutbah di depan kami pada hari Idul Adha. Beliau bersabda: “apakah kalian tahu hari apa ini?”. Kami menjawab: “Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui”. Lalu beliau terdiam sejenak hingga kami mengira beliau akan menamai hari ini dengan nama lain. Lalu Nabi bersabda: “bukankah hari ini yaumun nahr (Idul Adha)?”. Lalu kami menjawab: “benar wahai Rasulullah”. Lalu beliau bertanya lagi: “bukankah kita ini berada di tanah haram?”. Lalu kami menjawab: “benar wahai Rasulullah”. Lalu beliau bersabda: “maka sesungguhnya darah kalian dan harta kalian itu haram atas sesama kalian, seperti haramnya hari ini, seperti haramnya bulan ini, dan seperti haramnya negeri ini, sampai hari kalian bertemu Rabb kalian. Persaksikanlah bukankah aku telah menyampaikan hal ini? ”. Lalu kami menjawab: “benar wahai Rasulullah”. Lalu beliau bersabda: “Ya Allah persaksikanlah! Hendaknya yang hadir di sini menyampaikan hal ini kepada yang tidak hadir. Karena terkadang orang disampaikan lebih paham daripada yang menyampaikan. Dan hendaknya kalian tidak kembali kepada kekafiran, sehingga kalian satu sama lai saling membunuh” (Muttafaq ‘alaih).
وعن عبد الله بن عمر رضي الله عنهما قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمِنًى: ((أَتَدْرُونَ أَيُّ يَوْمٍ هَذَا؟ قَالُوا: اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ ، فَقَالَ: فَإِنَّ هَذَا يَوْمٌ حَرَامٌ ، أَفَتَدْرُونَ أَيُّ بَلَدٍ هَذَا؟ قَالُوا اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ ، قَالَ: بَلَدٌ حَرَامٌ ، أَفَتَدْرُونَ أَيُّ شَهْرٍ هَذَا؟ قَالُوا: اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ ، قَالَ: شَهْرٌ حَرَامٌ ، قَالَ: فَإِنَّ اللَّهَ حَرَّمَ عَلَيْكُمْ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ وَأَعْرَاضَكُمْ كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا ، فِي شَهْرِكُمْ هَذَا، فِي بَلَدِكُمْ هَذَا )) رواه البخاري .
Dari Abdullah bin Umar radhiallahu’anhuma, ia berkata: Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “tahukah engkau hari apa ini?”. Para sahabat menjawab: “Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui”. Nabi bersabda: “sesungguhnya ini adalah hari yang haram (suci). Apakah engkau tahu negeri apa ini?. Para sahabat menjawab: “Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui”. Nabi bersabda: “ini adalah negeri yang haram (suci). Apakah kalian tahu bulan apakah ini?”. Para sahabat menjawab: “Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui”. Nabi bersabda: “ini adalah bulan haram (suci)”. Lalu beliau bersabda lagi: “sesungguhnya Allah telah mengharamkan atas sesama kalian darah kalian (untuk ditumpakan) dan harta kalian (untuk dirampais) dan kehormatan (untuk dirusak). Sebagaimana haramnya hari ini, haramnya bulan ini dan haramnya negeri ini” (HR. Bukhari).
وعن جرير ابن عبد الله البجلي رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال له في حجة الوداع: «اسْتَنْصِتِ النَّاسَ» فَقَالَ: ((لاَ تَرْجِعُوا بَعْدِي كُفَّارًا، يَضْرِبُ بَعْضُكُمْ رِقَابَ بَعْضٍ)) متفق عليه .
Dari Jarir bin Abdullah Al Bajali radhiallahu’anhu, bahwasanya Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda ketika haji Wada: “suruhlah orang-orang untuk diam!”. Lalu beliau bersabda: “janganlah kalian kembali kepada kekufuran, sehingga kalian saling membunuh satu sama lain” (Muttafaqun ‘alahi).
وعن فضالة بن عبيد رضي الله عنه قال : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي حَجَّةِ الْوَدَاعِ : ((أَلَا أُخْبِرُكُمْ بِالْمُؤْمِنِ ؟ مَنْ أَمِنَهُ النَّاسُ عَلَى أَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ ، وَالْمُسْلِمُ : مَنْ سَلِمَ النَّاسُ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ ، وَالْمُجَاهِدُ: مَنْ جَاهَدَ نَفْسَهُ فِي طَاعَةِ اللَّهِ ، وَالْمُهَاجِرُ: مَنْ هَجَرَ الْخَطَايَا وَالذَّنُوبَ )) رواه أحمد .
Dari Fadhalah bin Ubaid radhiallahu’anhu, ia berkata: Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda ketika haji wada: “Maukah aku kabarkan kalian tentang ciri seorang mukmin? Yaitu orang yang orang lain merasa aman dari gangguannya terhadap harta dan jiwanya. Dan muslim, adalah orang yang orang lain merasa selamat dari gangguan lisan dan tangannya. Dan mujahid, adalah orang yang bersungguh-sungguh dalam ketaatan kepada Allah. Dan muhajir (orang yang hijrah), adakah orang yang meninggalkan kesalahan-kesalahan dan dosa” (HR. Ahmad).
وعن سلمة ابن قيس الأشجعي رضي الله عنه قال : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي حَجَّةِ الْوَدَاعِ: (( أَلَا إِنَّمَا هُنَّ أَرْبَعٌ : أَنْ لَا تُشْرِكُوا بِاللَّهِ شَيْئًا ، وَلَا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ ، وَلَا تَزْنُوا ، وَلَا تَسْرِقُوا )) رواه أحمد
Dari Salamah bin Qais Al Asyja’i radhiallahu’anhu ia berkata: Rasullullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda ketika haji Wada: “ketahuilah ada empat hal (yang paling penting), yaitu janganlah kaluan menyekutukan Allah dengan sesuatu pun, janganlah kalian membunuh jiwa yang Allah haramkan untuk membunuhnya kecuali dengan hak, janganlah berzina, dan janganlah mencuri” (HR. Ahmad).
Dalam larangan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam terhadap pembunuhan jiwa yang Allah haramkan untuk membunuhnya kecuali dengan hak, terdapat penjelasan yang agung mengenai haramnya (mulianya) darah. Dalam larangan zina terdapat penjelasan mengenai haramnya (mulianya) kehormatan. Dalam larangan mencuri terdapat penjelasan mengenai haramnya (mulianya) harta.
Barangsiapa yang merenungi hadits-hadits yang agung ini, serta peringatan-peringatan lainnya dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam ketika haji Wada akan menemukan bahwa khutbah tersebut adalah khutbah yang sakral dan agung. Dan juga akan menemukan bahwa darah, harta dan kehormatan kaum Muslimin itu mulia dan haram. Tidak diperkenankan untuk merusaknya serta tidak diperbolehkan berbuat zalim terhadapnya dengan segala bentuk kezaliman.
Dan siapa yang melihat realita kaum Muslimin, terlebih lagi di masa ini, ia akan menemukan banyak orang-orang yang menganggap sangat remeh dan sepele perkara darah, harta dan kehormatan ini. Tanpa ada rasa takut sedikitpun kepada Allah dan tanpa merasa diawasi oleh Allah Jalla wa ‘ala. Tanpa merasa bahwa ia akan dikembalikan dan akan menghadap Allah.
وَسَيَعْلَمُ الَّذِينَ ظَلَمُوا أَيَّ مُنْقَلَبٍ يَنْقَلِبُونَ
“Dan orang-orang yang zalim itu kelak akan mengetahui ke tempat mana mereka akan kembali” (QS. Asy Syu’ara: 227).
Dan siapa yang memahami urgensi perkara ini dan mengenal agungnya perkara ini, maka sungguh ia telah mencapai menjadi seorang alim yang mapan dan seorang faqih yang agung. Untuk merenungi hal tersebut, berikut ini sebuah kisah yang bermanfaat:
كتب رجلٌ إلى عبد الله بن عمر رضي الله عنهما «أن اكتب لي بالعلم كله» ، فكتب إليه رضي الله عنه : «إن العلم كثير ، ولكن إن استطعت أن تلقى الله يوم القيامة خفيف الظهر من دماء المسلمين ، خميص البطن من أموالهم، كافَّ اللسان عن أعراضهم ، لازمًا لجماعتهم فافعل»
Seorang lelaki menulis surat kepada Abdullah bin Umar radhiallahu’anhuma yang berisi: “tuliskanlah untukku sebuah tulisan yang mencakup semua ilmu”. Maka Ibnu Umar pun menulis sebuah tulisan untuknya yang berisi: “Sesungguhnya ilmu itu banyak, namun jika engkau mampu untuk bertemu Allah di hari kiamat dalam keadaan menjaga darah kaum Muslimin, menjaga harta mereka, dan menahan lisan dari merusak kehormatan mereka, maka lakukanlah”
Ibnu Umar radhiallahu’anhuma menganggap bahwa tiga perkara ini; menjaga darah, kehormatan dan harta kaum Muslimin sebagai sebuah tingkat kepahaman ilmu yang besar. Barangsiapa yang diberi taufik untuk memahami hal ini, sungguh ia telah memperoleh kebaikan yang besar.
Maka wajib hendaknya kita semua memperhatikan perkara yang agung ini dan kita jaga tiga hal tersebut dengan penjagaan yang sungguh-sungguh. Dan hendaknya kita takut untuk bertemu Allah di hari kiamat dalam keadaan jiwa kita sudah terkotori oleh perbuatan melanggar darah seorang Muslim atau kehormatannya atau hartanya. Karena perkaranya tidaklah ringan.
Semoga Allah Jalla wa ‘ala menyelamatkan kita dan menjaga kita dari keburukan, semoga Allah menjadikan semua urusan kita dalam keadaan baik, sungguh Ia Maha Mendengar dan Maha Mengabulkan Doa.
Diantara perkara yang paling agung yang ditekankan oleh Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dalam khutbah beliau ketika Haji Wada, setelah beliau menekankan kembali masalah tauhid dan keikhlasan, adalah perkara penjagaan terhadap hak-hak sesama Muslim dan peringatan keras terhadap pelanggaran hak-hak sesama Muslim. Baik hak-hak yang terkait dengan darah, harta dan kehormatan seorang Muslim. Barangsiapa yang merenungi khutbah Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dan nasehat-nasehat beliau yang agung ketika haji Wada, ia akan menemukan bahwa beliau sangat menekankan dan betul-betul memperhatikan perihal ini. Maka marilah kita renungkan sejenak khutbah tersebut, dari khutbah Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam yang beliau sampaikan di hari Arafah, hari Idul Adha, serta hari-hari Tasyriq.
عن جابر رضي الله عنه في سياق حجة النبي صلى الله عليه وسلم قال : « حَتَّى إِذَا زَاغَتِ الشَّمْسُ أَمَرَ بِالْقَصْوَاءِ فَرُحِلَتْ لَهُ، فَأَتَى بَطْنَ الْوَادِي فَخَطَبَ النَّاسَ وَقَالَ: إِنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ حَرَامٌ عَلَيْكُمْ، كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا فِي شَهْرِكُمْ هَذَا، فِي بَلَدِكُمْ هَذَا… » الحديث . رواه مسلم .
Dari Jabi radhiallahu’anhu di tengah haji bersama Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam: “… sehingga saat matahari tergelincir, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan agar unta Al-Qashwa’ dipersiapkan. Ia pun dipasangi pelana. Lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendatangi tengah lembah dan berkhutbah: ‘Sesungguhnya darah dan harta kalian, haram bagi sesama kalian. Sebagaimana haramnya hari ini, haramnya bulan ini di negeri kalian ini…‘“ (HR. Muslim).
عن ابن عباس رضي الله عنهما أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَطَبَ النَّاسَ يَوْمَ النَّحْرِ فَقَالَ: (( يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَيُّ يَوْمٍ هَذَا؟ قَالُوا: يَوْمٌ حَرَامٌ ، قَالَ: فَأَيُّ بَلَدٍ هَذَا؟ قَالُوا: بَلَدٌ حَرَامٌ ، قَالَ: فَأَيُّ شَهْرٍ هَذَا؟، قَالُوا: شَهْرٌ حَرَامٌ ، قَالَ: فَإِنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ وَأَعْرَاضَكُمْ عَلَيْكُمْ حَرَامٌ كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا، فِي بَلَدِكُمْ هَذَا، فِي شَهْرِكُمْ هَذَا ، فَأَعَادَهَا مِرَارًا ، ثُمَّ رَفَعَ رَأْسَهُ فَقَالَ: اللَّهُمَّ هَلْ بَلَّغْتُ ، اللَّهُمَّ هَلْ بَلَّغْتُ – قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا: فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ إِنَّهَا لَوَصِيَّتُهُ إِلَى أُمَّتِهِ – فَلْيُبْلِغِ الشَّاهِدُ الغَائِبَ ، لاَ تَرْجِعُوا بَعْدِي كُفَّارًا يَضْرِبُ بَعْضُكُمْ رِقَابَ بَعْضٍ )) رواه البخاري .
Dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu’anhuma, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah di hari Idul Adha. Beliau bersabda: “Wahai manusia, hari apakah ini? Mereka menjawab: “Hari ini hari haram (suci)”. Nabi bertanya lagi: “Lalu negeri apakah ini?”. Mereka menjawab: “Ini tanah haram (suci)”. Nabi bertanya lagi: “Lalu bulan apakah ini?”. Mereka menjawab: “Ini bulan suci”. Beliau bersabda: “Sesungguhnya darah kalian, harta-harta kalian dan kehormatan kalian, adalah haram atas sesama kalian. Sebagaimana haramnya hari kalian ini di negeri kalian ini dan pada bulan kalian ini”. Beliau mengulang kalimatnya ini berulang-ulang lalu setelah itu Beliau mengangkat kepalanya seraya berkata: “Ya Allah, sungguh telah aku sampaikan hal ini. Ya Allah, sungguh telah aku sampaikan hal ini. Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma berkata: “Maka demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh wasiat tersebut adalah wasiat untuk ummat beliau”. Nabi bersabda: “Maka hendaknya yang hari ini menyaksikan dapat menyampaikannya kepada yang tidak hadir, dan janganlah kalian kembali kepada kekufuran sepeninggalku, sehingga kalian satu sama lai saling membunuh”. (HR. Al Bukhari).
وعن أبي بكرة رضي الله عنه قال : خَطَبَنَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ النَّحْرِ قَالَ: ((أَتَدْرُونَ أَيُّ يَوْمٍ هَذَا؟ قُلْنَا: اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ ، فَسَكَتَ حَتَّى ظَنَنَّا أَنَّهُ سَيُسَمِّيهِ بِغَيْرِ اسْمِهِ، قَالَ: أَلَيْسَ يَوْمَ النَّحْرِ؟ قُلْنَا: بَلَى ، قَالَ: أَيُّ شَهْرٍ هَذَا ؟ قُلْنَا: اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ ، فَسَكَتَ حَتَّى ظَنَنَّا أَنَّهُ سَيُسَمِّيهِ بِغَيْرِ اسْمِهِ، فَقَالَ: أَلَيْسَ ذُو الحَجَّةِ؟ قُلْنَا: بَلَى ، قَالَ : أَيُّ بَلَدٍ هَذَا ؟ قُلْنَا: اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ ، فَسَكَتَ حَتَّى ظَنَنَّا أَنَّهُ سَيُسَمِّيهِ بِغَيْرِ اسْمِهِ ، قَالَ : أَلَيْسَتْ بِالْبَلْدَةِ الحَرَامِ؟ قُلْنَا: بَلَى ، قَالَ: فَإِنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ عَلَيْكُمْ حَرَامٌ، كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا ، فِي شَهْرِكُمْ هَذَا ، فِي بَلَدِكُمْ هَذَا ، إِلَى يَوْمِ تَلْقَوْنَ رَبَّكُمْ، أَلَا هَلْ بَلَّغْتُ؟ قَالُوا: نَعَمْ ، قَالَ: اللَّهُمَّ اشْهَدْ، فَلْيُبَلِّغِ الشَّاهِدُ الغَائِبَ ، فَرُبَّ مُبَلَّغٍ أَوْعَى مِنْ سَامِعٍ، فَلَا تَرْجِعُوا بَعْدِي كُفَّارًا، يَضْرِبُ بَعْضُكُمْ رِقَابَ بَعْضٍ)) متفق عليه .
Dari Abu Bakrah radhiallahu’anhu, ia berkata: Nabi Shallallahu’alaihi Wasalllam berkhutbah di depan kami pada hari Idul Adha. Beliau bersabda: “apakah kalian tahu hari apa ini?”. Kami menjawab: “Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui”. Lalu beliau terdiam sejenak hingga kami mengira beliau akan menamai hari ini dengan nama lain. Lalu Nabi bersabda: “bukankah hari ini yaumun nahr (Idul Adha)?”. Lalu kami menjawab: “benar wahai Rasulullah”. Lalu beliau bertanya lagi: “bukankah kita ini berada di tanah haram?”. Lalu kami menjawab: “benar wahai Rasulullah”. Lalu beliau bersabda: “maka sesungguhnya darah kalian dan harta kalian itu haram atas sesama kalian, seperti haramnya hari ini, seperti haramnya bulan ini, dan seperti haramnya negeri ini, sampai hari kalian bertemu Rabb kalian. Persaksikanlah bukankah aku telah menyampaikan hal ini? ”. Lalu kami menjawab: “benar wahai Rasulullah”. Lalu beliau bersabda: “Ya Allah persaksikanlah! Hendaknya yang hadir di sini menyampaikan hal ini kepada yang tidak hadir. Karena terkadang orang disampaikan lebih paham daripada yang menyampaikan. Dan hendaknya kalian tidak kembali kepada kekafiran, sehingga kalian satu sama lai saling membunuh” (Muttafaq ‘alaih).
وعن عبد الله بن عمر رضي الله عنهما قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمِنًى: ((أَتَدْرُونَ أَيُّ يَوْمٍ هَذَا؟ قَالُوا: اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ ، فَقَالَ: فَإِنَّ هَذَا يَوْمٌ حَرَامٌ ، أَفَتَدْرُونَ أَيُّ بَلَدٍ هَذَا؟ قَالُوا اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ ، قَالَ: بَلَدٌ حَرَامٌ ، أَفَتَدْرُونَ أَيُّ شَهْرٍ هَذَا؟ قَالُوا: اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ ، قَالَ: شَهْرٌ حَرَامٌ ، قَالَ: فَإِنَّ اللَّهَ حَرَّمَ عَلَيْكُمْ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ وَأَعْرَاضَكُمْ كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا ، فِي شَهْرِكُمْ هَذَا، فِي بَلَدِكُمْ هَذَا )) رواه البخاري .
Dari Abdullah bin Umar radhiallahu’anhuma, ia berkata: Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “tahukah engkau hari apa ini?”. Para sahabat menjawab: “Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui”. Nabi bersabda: “sesungguhnya ini adalah hari yang haram (suci). Apakah engkau tahu negeri apa ini?. Para sahabat menjawab: “Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui”. Nabi bersabda: “ini adalah negeri yang haram (suci). Apakah kalian tahu bulan apakah ini?”. Para sahabat menjawab: “Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui”. Nabi bersabda: “ini adalah bulan haram (suci)”. Lalu beliau bersabda lagi: “sesungguhnya Allah telah mengharamkan atas sesama kalian darah kalian (untuk ditumpakan) dan harta kalian (untuk dirampais) dan kehormatan (untuk dirusak). Sebagaimana haramnya hari ini, haramnya bulan ini dan haramnya negeri ini” (HR. Bukhari).
وعن جرير ابن عبد الله البجلي رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال له في حجة الوداع: «اسْتَنْصِتِ النَّاسَ» فَقَالَ: ((لاَ تَرْجِعُوا بَعْدِي كُفَّارًا، يَضْرِبُ بَعْضُكُمْ رِقَابَ بَعْضٍ)) متفق عليه .
Dari Jarir bin Abdullah Al Bajali radhiallahu’anhu, bahwasanya Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda ketika haji Wada: “suruhlah orang-orang untuk diam!”. Lalu beliau bersabda: “janganlah kalian kembali kepada kekufuran, sehingga kalian saling membunuh satu sama lain” (Muttafaqun ‘alahi).
وعن فضالة بن عبيد رضي الله عنه قال : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي حَجَّةِ الْوَدَاعِ : ((أَلَا أُخْبِرُكُمْ بِالْمُؤْمِنِ ؟ مَنْ أَمِنَهُ النَّاسُ عَلَى أَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ ، وَالْمُسْلِمُ : مَنْ سَلِمَ النَّاسُ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ ، وَالْمُجَاهِدُ: مَنْ جَاهَدَ نَفْسَهُ فِي طَاعَةِ اللَّهِ ، وَالْمُهَاجِرُ: مَنْ هَجَرَ الْخَطَايَا وَالذَّنُوبَ )) رواه أحمد .
Dari Fadhalah bin Ubaid radhiallahu’anhu, ia berkata: Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda ketika haji wada: “Maukah aku kabarkan kalian tentang ciri seorang mukmin? Yaitu orang yang orang lain merasa aman dari gangguannya terhadap harta dan jiwanya. Dan muslim, adalah orang yang orang lain merasa selamat dari gangguan lisan dan tangannya. Dan mujahid, adalah orang yang bersungguh-sungguh dalam ketaatan kepada Allah. Dan muhajir (orang yang hijrah), adakah orang yang meninggalkan kesalahan-kesalahan dan dosa” (HR. Ahmad).
وعن سلمة ابن قيس الأشجعي رضي الله عنه قال : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي حَجَّةِ الْوَدَاعِ: (( أَلَا إِنَّمَا هُنَّ أَرْبَعٌ : أَنْ لَا تُشْرِكُوا بِاللَّهِ شَيْئًا ، وَلَا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ ، وَلَا تَزْنُوا ، وَلَا تَسْرِقُوا )) رواه أحمد
Dari Salamah bin Qais Al Asyja’i radhiallahu’anhu ia berkata: Rasullullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda ketika haji Wada: “ketahuilah ada empat hal (yang paling penting), yaitu janganlah kaluan menyekutukan Allah dengan sesuatu pun, janganlah kalian membunuh jiwa yang Allah haramkan untuk membunuhnya kecuali dengan hak, janganlah berzina, dan janganlah mencuri” (HR. Ahmad).
Dalam larangan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam terhadap pembunuhan jiwa yang Allah haramkan untuk membunuhnya kecuali dengan hak, terdapat penjelasan yang agung mengenai haramnya (mulianya) darah. Dalam larangan zina terdapat penjelasan mengenai haramnya (mulianya) kehormatan. Dalam larangan mencuri terdapat penjelasan mengenai haramnya (mulianya) harta.
Barangsiapa yang merenungi hadits-hadits yang agung ini, serta peringatan-peringatan lainnya dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam ketika haji Wada akan menemukan bahwa khutbah tersebut adalah khutbah yang sakral dan agung. Dan juga akan menemukan bahwa darah, harta dan kehormatan kaum Muslimin itu mulia dan haram. Tidak diperkenankan untuk merusaknya serta tidak diperbolehkan berbuat zalim terhadapnya dengan segala bentuk kezaliman.
Dan siapa yang melihat realita kaum Muslimin, terlebih lagi di masa ini, ia akan menemukan banyak orang-orang yang menganggap sangat remeh dan sepele perkara darah, harta dan kehormatan ini. Tanpa ada rasa takut sedikitpun kepada Allah dan tanpa merasa diawasi oleh Allah Jalla wa ‘ala. Tanpa merasa bahwa ia akan dikembalikan dan akan menghadap Allah.
وَسَيَعْلَمُ الَّذِينَ ظَلَمُوا أَيَّ مُنْقَلَبٍ يَنْقَلِبُونَ
“Dan orang-orang yang zalim itu kelak akan mengetahui ke tempat mana mereka akan kembali” (QS. Asy Syu’ara: 227).
Dan siapa yang memahami urgensi perkara ini dan mengenal agungnya perkara ini, maka sungguh ia telah mencapai menjadi seorang alim yang mapan dan seorang faqih yang agung. Untuk merenungi hal tersebut, berikut ini sebuah kisah yang bermanfaat:
كتب رجلٌ إلى عبد الله بن عمر رضي الله عنهما «أن اكتب لي بالعلم كله» ، فكتب إليه رضي الله عنه : «إن العلم كثير ، ولكن إن استطعت أن تلقى الله يوم القيامة خفيف الظهر من دماء المسلمين ، خميص البطن من أموالهم، كافَّ اللسان عن أعراضهم ، لازمًا لجماعتهم فافعل»
Seorang lelaki menulis surat kepada Abdullah bin Umar radhiallahu’anhuma yang berisi: “tuliskanlah untukku sebuah tulisan yang mencakup semua ilmu”. Maka Ibnu Umar pun menulis sebuah tulisan untuknya yang berisi: “Sesungguhnya ilmu itu banyak, namun jika engkau mampu untuk bertemu Allah di hari kiamat dalam keadaan menjaga darah kaum Muslimin, menjaga harta mereka, dan menahan lisan dari merusak kehormatan mereka, maka lakukanlah”
Ibnu Umar radhiallahu’anhuma menganggap bahwa tiga perkara ini; menjaga darah, kehormatan dan harta kaum Muslimin sebagai sebuah tingkat kepahaman ilmu yang besar. Barangsiapa yang diberi taufik untuk memahami hal ini, sungguh ia telah memperoleh kebaikan yang besar.
Maka wajib hendaknya kita semua memperhatikan perkara yang agung ini dan kita jaga tiga hal tersebut dengan penjagaan yang sungguh-sungguh. Dan hendaknya kita takut untuk bertemu Allah di hari kiamat dalam keadaan jiwa kita sudah terkotori oleh perbuatan melanggar darah seorang Muslim atau kehormatannya atau hartanya. Karena perkaranya tidaklah ringan.
Semoga Allah Jalla wa ‘ala menyelamatkan kita dan menjaga kita dari keburukan, semoga Allah menjadikan semua urusan kita dalam keadaan baik, sungguh Ia Maha Mendengar dan Maha Mengabulkan Doa.
Monday, 5 June 2017
Takdir Menurut Al-Qur’an dan Al-Sunnah
Berdasar pada keyakinan Ahlu Sunnah wal Jama’ah, seseorang tidak dapat mengenal takdir dengan baik jika ia tidak berpedoman kepada petunjuk yang bersumber dari Al-Qur’an dan Al-Sunnah. Jika seseorang mendasarkan pengertiannya tentang takdir tanpa sandaran dari Al-Qur’an dan Al-Sunnah, maka pemahamannya itu akan menyimpangkan dirinya menuju pemahaman kaum Mu’tazilah maupun kaum Jabbariyyah. Oleh karena itu, dalam kesempatan yang sangat penting ini kami berusaha sekuat tenaga untuk mengambil kesimpulan tentang makna takdir berdasarkan firman-firman Allah Swt. dan hadis-hadis yang shahîh, seperti yang dituangkan oleh Allah dalam firman-Nya berikut ini, "Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi, dan tidak pula pada diri kalian sendiri, melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh al- Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah," (QS Al-Hadîd [57]: 22).
Maksudnya, apa saja yang telah terjadi di permukaan bumi ini telah ditulis oleh Allah dalam kitab-Nya yang tersimpan rapi di Lauh al-Mahfuzh, bahkan sebelum terjadi ataupun sebelum diciptakannya. Jadi, semua itu telah digariskan oleh Allah Swt. dalam ketetapan-Nya. Pemahaman kelompok yang mengakui bahwa setiap kejadian merupakan takdir yang disandarkan hanya kepada Allah Swt. adalah kelompok yang keimanan mereka sangat sempurna. Adapun kelompok lain yang tidak beranggapan seperti itu, maka mereka adalah kelompok yang menyimpang dan tersesat dari jalan-Nya.
Kalau di atas telah kami sebutkan firman Allah Swt. tentang pengertian takdir, maka di bawah ini kami nukilkan pula sebagian dari hadis yang menafsirkan firman Allah di atas. Di antaranya, Diriwayatkan oleh ‘Abdullâh bin ‘Amru bin al-Âsh ra., bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda, "Allah telah menuliskan berbagai ketetapan atas makhluk-Nya lima puluh ribu tahun sebelum diciptakannya langit dan bumi. Dan pada saat itu, ‘Arsy Allah berada di atas air."[1]
Sebenarnya kami tidak mengetahui seberapa jauh jarak lima puluh ribu tahun yang disebutkan dalam hadis di atas, apakah perhitungan itu didasarkan dengan masa lima puluh ribu tahun di dunia, ataukah lima puluh ribu juta tahun, atau jumlah itu hanyalah kiasan jarak yang jauhnya antara dituliskannya ketetapan Allah Swt. terhadap makhluk-makhluk-Nya dengan diciptakannya langit beserta bumi. Mungkin juga Allah Swt. telah menetapkan berbagai macam kejadian yang akan berlaku jauh-jauh hari sebelum terjadinya.
Adapun arti makna kata yang disebutkan dalam hadis di atas mungkin berasal dari kata al-‘Amâ-u [2] اَلْ مََْا yang berarti awan, atau berasal dari kata al-Atsîru ( اَلْأَثِيْػرُ ) yang berarti asal segala sesuatu atau atom (molekul). Kami tidak mengetahui hakikat sebenarnya tentang unsur yang dimaksud --Allâhu a’lam--. Sebab, pada waktu itu kami dan ayah kami Nabi Adam as. belum tercipta sama sekali. Bahkan alam semesta pun belum tercipta.
Riwayat berikutnya adalah, Sahabat ‘Ubadah bin al-Shamit ra. menegaskan arti kata Iman atas takdir Allah Swt. kepada putranya sebagi berikut, "Wahai putraku, sebenarnya engkau tidak dapat merasakan lezatnya hakikat keimanan, sampai engkau mampu meyakini bahwa musibah apa pun yang telah ditetapkan bagimu pasti tidak akan meleset darimu sedikit pun. Demikian pula musibah apa pun yang ditetapkan tidak akan terkena bagimu pasti tidak akan terkena bagimu sedikit pun. Karena, aku pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda, ‘Sesungguhnya yang pertama kali diciptakan oleh Allah Swt. adalah al-Qalam atau pena, kemudian dikatakan kepadanya, tulislah! Kata al-Qalam atau pena, apa yang harus aku tulis, wahai Rabbku? Firman Allah, tulislah berbagai ketetapan-Ku yang Aku gariskan bagi segala sesuatu, hingga datangnya Hari Kiamat.’ Selanjutnya ‘Ubadah bin ash-Shamit berkata, wahai putraku, aku juga pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda, ‘Siapa pun yang meninggal dunia dengan tidak mempunyai keyakinan seperti ini, maka ia bukan termasuk golonganku.’"[3]
Hadis berikutnya diriwayatkan oleh ‘Abdullâh bin ‘Abbas ra., dan ini sangat besar nilainya berkenaan dengan persoalan takdir. Sebab, hadis ini menafsirkan tentang makna serta penjelasan dari ayat di atas. Adapun hadisnya adalah sebagai berikut, Ibnu ‘Abbas ra. pernah mengatakan, "Pada suatu hari, aku pernah membonceng di belakang keledai Rasulullah Saw.. Pada saat itu, beliau bersabda kepadaku, ‘Wahai anak muda, aku akan mengajari engkau beberapa petunjuk, maka perhatikan baik-baik. Jagalah Allah baik-baik, pasti engkau akan dijaga oleh Allah. Jagalah Allah baik-baik, pasti engkau akan mendapati Allah senantiasa ada di hadapanmu. Jika engkau memohon sesuatu, maka mohonlah kepada Allah. Jika engkau memohon pertolongan terhadap sesuatu, maka ajukanlah permohonanmu itu hanya kepada Allah semata. Ketahuilah, bahwa jika semua orang berkumpul dan bersepakat akan memberi kebaikan kepada dirimu, maka kebaikan itu tidak akan pernah sampai kepadamu sedikit pun, kecuali apa yang telah ditetapkan oleh Allah bagimu. Dan ketahuilah pula, bahwa jika semua manusia berkumpul serta bersepakat untuk memberimu keburukan, maka keburukan itu tidak sampai kepadamu sedikit pun, kecuali apa yang telah ditetapkan oleh Allah bagimu. Ketahuilah, bahwa semua tulisan telah dicatat dengan rapi, dan penanya telah diangkat serta tulisannya telah mengering."[4]
Makna hadis di atas adalah, berikan hak atas seluruh perintah Allah Swt., agar engkau mendatangkan kebaikan kepada pihak lain yang dapat pula memberimu kebaikan. Jika engkau memerlukan sesuatu, maka janganlah engkau memintanya kepada seorang pun, selain kepada Allah Swt.. Janganlah engkau merendah diri karena berharap kepada seorang, akan tetapi rendahkan dirimu hanya kepada Allah Swt.. Sebab, segala kebutuhanmu hanya akan dipenuhi oleh Allah Swt., dan hanya Dia yang dapat mengabulkannya. Alhasil, jika engkau membutuhkan sesuatu, maka ajukan permohonanmu itu hanya kepada Allah Swt. semata. Jika engkau mengajukan permohonanmu itu kepada selain Allah Swt., mungkin akan berakibat tidak baik bagimu. Sebab, yang dapat mengabulkan kebutuhanmu hanyalah Allah Swt. semata..
Oleh karena itu, janganlah engkau menyelipkan perantara yang terselip di antara engkau dengan Allah Swt. sedikit pun. Sebaliknya, ajukan semua harapanmu hanya kepada Allah Swt., karena selain Allah adalah makhluk yang sama lemahnya dengan dirimu. Sedangkan pemegang kekuasaan langit maupun bumi hanya berada pada sisi Allah Swt.. Bahkan, jika semua manusia ingin memberimu kebaikan, maka kebaikan itu tidak akan sampai kepada dirimu, kecuali apa yang telah ditetapkan oleh Allah Swt. bagi dirimu. Demikian pula jika semua orang bersepakat untuk mencederai engkau, maka semua tidak akan terjadi bagimu, kecuali apa yang telah ditetapkan oleh Allah Swt. bagimu. Karena, ketetapan yang telah digariskan oleh Allah Swt. dalam kitab yang tersimpan di Lauh al-Mahfuzh telah kering tintanya, dan penanya telah diangkat, sehingga tidak dapat diubah oleh siapa pun.
Hadis di atas sengaja disampaikan oleh Rasulullah Saw. kepada ‘Abdullâh bin ‘Abbas ra., karena ia adalah seorang pemuda yang sangat cerdas di kalangan umat Islam pada saat itu, sehingga ia akan dapat memahami masalah takdir dengan baik.
Demikianlah hendaknya setiap orang memahami masalah takdir dengan baik. Sebab, masalah takdir ini sangat bertalian dengan persoalan keyakinan, hingga setiap orang cenderung mempercayainya menurut keyakinan masingmasing. Oleh karena itu, Rasulullah Saw. banyak menjelaskan mengenai masalah takdir ini dalam sabda-sabda beliau, sehingga masalah tersebut dapat kita pelajari dari sabda-sabda beliau yang tersimpan dalam berbagai kitab hadis yang shahîh.
Kaum Majusi juga meyakini adanya dua kekuatan yang saling mempengaruhi, yaitu; kekuatan kebaikan dan kekuatan keburukan. Menurut mereka, jika kekuatan kebaikan yang menang, niscaya manusia akan berpihak kepada kebaikan. Jika kekuatan keburukan yang menang, maka manusia akan berpihak kepada keburukan. Akidah Islam sangat berbeda dengan akidah kaum Majusi. Islam hanya percaya bahwa semua kejadian di alam semesta ini telah ditakdirkan oleh Allah Swt. semata, bukan yang lain. Sebab, yang berwenang menentukan segala sesuatu hanyalah Allah Swt. semata, bukan yang lain.
Hakikat keyakinan di atas kami pahami dari lafazh dzikir yang dibaca pada setiap pagi maupun petang, yaitu kalimat berikut ini "Tidak ada Tuhan selain Allah Yang Maha Esa, tiada sekutu bagi-Nya, hanya bagi-Nya segala kerajaan serta pujian, dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu."[5]
Berdasarkan hadis di atas kita seharusnya meyakini, bahwa hanya Allah Swt. Rabb kita. Dia Mahaahad dan tiada sekutu bagi-Nya.
Sayyidina ‘Ali bin Abi Thalib ra. pernah meriwayatkan sebuah hadis berikut ini, Ketika kami mengantar jenazah seorang sahabat di pekuburan Baqi’ al-Gharqad, tiba-tiba Rasulullah Saw. datang kepada kami, kemudian beliau duduk dan kami pun duduk bersama beliau. Pada saat itu, beliau memegang sebuah kayu (tongkat), kemudian beliau menggali tanah dengan kayu tersebut, seraya berkata, ‘Tidak seorang pun di antara kalian yang bernafas, kecuali telah ditetapkan kedudukannya di dalam surga atau neraka, dan telah ditetapkan baginya sebagai orang yang celaka atau sebagai orang yang selamat.’ Mendengar ucapan Nabi tersebut, seorang sahabat mengajukan pertanyaan, ‘Ya Rasulullah, apakah sebaiknya kami menyerah kepada ketetapan takdir yang telah digariskan bagi kami, tanpa beramal sedikit pun?’ Beliau Saw. menjawab, ‘Siapa pun yang telah ditetapkan sebagai seorang yang akan mendapatkan kebahagiaan, maka ia akan beramal menurut amalan orang-orang yang ditetapkan akan mendapatkan kebahagiaan. Dan siapa saja yang ditetapkan sebagai seorang yang akan mendapat kesengsaraan, maka ia akan beramal menurut amalan orang-orang yang akan mendapat kesengsaraan. Oleh karena itu, beramalah kalian masing-masing, karena setiap orang akan diberi kemudahan menurut takdirnya masing-masing. Jika ia telah ditetapkan sebagai orang yang bahagia, maka ia akan memperbanyak amal kebajikan yang akan mengantarnya menuju kebahagiaan.[6] Sebaliknya, jika ia telah ditetapkan sebagai orang yang celaka, maka ia akan memperbanyak amal-amal keburukan yang mengantarnya menuju kesengsaraan.’ Kemudian beliau membacakan firman Allah Swt.,
‘Adapun orang yang memberikan hartanya di jalan Allah dan bertakwa, serta membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga), maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah. Dan adapun orang-orang yang bakhil, serta merasa dirinya cukup,[7] juga mendustakan pahala terbaik, maka kelak Kami akan menyiapkan baginya jalan yang sulit,’ (QS Al-Laîl [92]: 5-10)."[8]
Siapa pun yang telah ditetapkan sebagai calon penghuni surga oleh Allah Swt., maka qalbunya akan giat untuk beramal shalih dan beribadah, serta ia akan menjauhi segala larangan Allah. Ia akan selalu menuju kepada kebaikan, dan tidak mau menuju ke tempat-tempat maksiat.
Siapa pun yang telah ditetapkan sebagai calon penghuni surga oleh Allah Swt., maka qalbunya akan giat untuk beramal shalih dan beribadah, serta ia akan menjauhi segala larangan Allah. Ia akan selalu menuju kepada kebaikan, dan tidak mau menuju ke tempat-tempat maksiat. "Ya Allah, jadikanlah segala urusanku berakhir dengan kebaikan, dan lindungilah aku dari kesengsaraan di dunia maupun siksa di akhirat kelak."[9]
Selain itu, Nabi Saw. selalu membaca surah Al-Lail mulai dari ayat kelima sampai kesepeluh, sebagai bukti bahwa beliau sangat perhatian kepada amal-amal kebajikan.
Siapa pun yang menafkahkan harta dan jiwanya di jalan Allah Swt., serta mengorbankan segala apa yang dimilikinya untuk menggapai derajat ketakwaan di sisi-Nya, pasti ia akan mendapat imbalan dari Allah, qalbunya akan dipenuhi rasa takwa dan cinta kepada keimanan. Ia akan selalu memohon bantuan Allah Swt., dan akan selalu mencari keridhaan-Nya, serta bersikap pasrah kepada seluruh kehendak Allah. Ia juga akan senantiasa mengucapkan dzikir-dzikir kepada Allah Swt., terutama nama-nama Allah Yang Mahamulia. Dengan demikian, Allah Swt. akan memberinya kemudahan untuk menempuh jalan-jalan kebaikan, sebagaimana lancarnya air yang mengalir ke tempat-tempat di mana ia bermuara. Ia selalu merasakan nikmat ketika mengamalkan (mendirikan) shalat, membayar zakat, menunaikan ibadah haji, dan berjihad di jalan Allah Swt.. Sampai-sampai ada sebagian orang yang menganggap bahwa ia sudah hilang ingatan (gila), karena mereka mendapati orang semacam ini tidak mempunyai perasaan takut dengan kematian sedikit pun. Bahkan, ia tidak memperhatikan kenikmatan-kenikmatan hidupnya sedikit pun; kecuali atas keridhaan Allah Swt.. Dengan ungkapan yang lebih sederhana dapat dikatakan, bahwa orang semacam ini telah menjalankan seluruh rangkaian kehidupannya hanya untuk beribadah, demi meraih keridhaan Allah Swt., dan kesenangan hidup di alam akhirat.
Akan tetapi sebaliknya, jika seseorang telah ditetapkan sebagai calon penghuni neraka, maka ia tidak ingin (enggan) menafkahkan hartanya untuk beramal shalih. Ia merasa tidak butuh kepada Allah Swt. Ia merasa bahwa kekayaannya-lah yang akan menjamin kebahagiaan hidupnya di dunia. Sebagaimana yang dilakukan oleh Qarun, ketika ia mengaku bahwa kekayaannnya diperoleh dari hasil kepandaian dan usaha kerasnya semata. Seperti telah disebutkan oleh Allah Swt. di dalam firman-Nya berikut ini, "Qarun berkata, ‘Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu, karena ilmu yang ada padaku," (QS Al-Qashash [28]: 78).
Tipe orang semacam ini akan menganggap bahwa orang yang pergi ke masjid itu merupakan orang yang melakukan kesia-siaan. Ia cenderung tidak senang dengan segala bentuk amalan yang baik, tidak beriman kepada Rasulullah Saw. dan Al-Qur’an. Karenanya, Allah Swt. memberinya kemudahan menuju jalan-jalan keburukan. Jika ia mengaku diri sebagai seorang Muslim, adakalanya ia melakukan shalat, puasa, dan lain sebagainya, akan tetapi ia lakukan dengan perasaan yang sangat berat. Terlebih lagi jika harus melakukan shalat Subuh di waktu fajar tengah menyingsing. Ia tidak ingin melakukan shalat berjama’ah dan beribadah di masjid. Bahkan ia meremehkan segala perbuatan baik dan menganggapnya sebagai penghalang untuk menikmati kehidupan duniawi. Ia merasa sebagai seorang yang sedang mendaki sebuah bukit, terasa berat dan melelahkan. Jika ia sedang melakukan amal kebajikan, laksana apa yang disebutkan di dalam firman Allah Swt. berikut ini, "Aku akan membebaninya mendaki pendakian yang memayahkan," (QS Al-Muddatstsir [74]: 17).
Sebagian dari mereka itu ada orang-orang yang berprofesi sebagai penambang batu bara, ada pula yang menambang perak, tembaga, dan ada pula yang menambang emas. Akan tetapi, tidak jarang juga dari mereka yang memilih jenis pekerjaan di tempat-tempat yang kotor. Sebenarnya yang memberi kemudahan kepada seseorang untuk menuju jalan-jalan kebaikan adalah jika qalbunya bersih, jujur, bersungguh-sungguh kepada Allah Swt., mau mengorbankan sebagian dari harta dan jiwanya di jalan Allah, selalu berharap pahala dari sisi Allah. Maka, model orang semacam ini yang akan diberi petunjuk ke jalan menuju surga-Nya. Sebaliknya, seorang yang kikir untuk berbuat kebaikan, maka ia akan ditunjukkan kepada jalan-jalan menuju kesulitan, dan akan berakhir di dalam api neraka -- Na’ûdzu billâh min dzâlik--.
Pernah pula diriwayatkan, bahwa Suraqah bin Malik ra. bertanya kepada Rasulullah Saw., "Ya Rasulullah, apakah amal perbuatan kami telah ditetapkan oleh Allah menurut kehendak-Nya, sehingga kami tidak dapat berusaha apa pun untuk memperbaiki amalan-amalan kami yang buruk?‛ Beliau Saw. menjawab, ‚Hendaknya kalian senantiasa berbuat kebaikan, karena setiap orang telah ditetapkan oleh Allah mengenai amalannya masing-masing. Wahai Suraqah, mulai sekarang perbaikilah amal-amalmu karena Allah Swt.."[10]
Dalam riwayat lain disebutkan, bahwa ada seseorang bertanya kepada Rasulullah Saw., "Ya Rasulullah, mengapa seseorang harus beramal? Padahal semua telah ditetapkan oleh Allah Swt. menurut takdir masing-masing?" Beliau Saw. menjawab, "Setiap orang telah ditetapkan amalannya masing-masing oleh Allah. Seorang calon penghuni surga akan memperbanyak amalan ahli surga. Demikian pula seorang calon penghuni neraka akan memperbanyak amalan ahli neraka."
Dalam riwayat lain disebutkan, bahwa ‘Umar Ibnul Khaththab ra. pernah mengajukan pertanyaan, "Ya Rasulullah, menurut pendapatmu apakah amal-amal kita ini termasuk usaha kita, ataukah termasuk sesuatu yang telah ditetapkan oleh Allah? Beliau menjawab, ‘Semua amal kalian telah ditetapkan oleh Allah.’ Lanjut ‘Umar, ‘Kalau begitu, kami akan bersungguhsungguh dalam beribadah kepada-Nya.’"[11]
Setelah itu kami dapati para sahabat ra. bersungguh-sungguh dalam beribadah kepada Allah Swt.. Mereka menyibukkan diri masing-masing untuk beribadah kepada Allah ‘Azza wa jalla di waktu malam dan siang. Mereka beranggapan, bahwa setiap jalan yang mereka tempuh pasti akan tiba di tempat yang dituju.
Itulah pemahaman para sahabat Nabi Saw. tentang takdir Allah Swt., sehingga tidak seorang pun di antara mereka yang malas untuk melakukan amal kebajikan. Menurut mereka, perjalanan yang mereka tempuh pasti akan sampai di ujungnya, dimana mereka beranggapan bahwa semua itu telah ditakdirkan oleh Allah Swt. bagi manusia. Oleh karena itu, mereka selalu menempuh jalan-jalan yang baik, demi meraih keridhaan Allah Swt.. Sungguh akan merugi seorang yang enggan menuju ke jalan kebaikan, apalagi jika ia tidak pernah bersujud kepada Allah Swt., meskipun hanya sekali saja seumur hidupnya. Dan, tidak pernah mengikuti jalan orang-orang yang beriman. Alangkah meruginya jika ada seseorang yang menghabiskan waktu-waktu luangnya di tempat-tempat yang tidak berguna, sehingga mereka akan berakhir di api neraka. Seperti telah disebutkan dalam firman Allah Swt. berikut ini, "Aku akan memasukkannya ke dalam neraka Saqar. Tahukah engkau apakah neraka Saqar itu? Saqar itu tidak meninggalkan dan tidak membiarkan. Neraka Saqar adalah pembakar kulit manusia. Dan di atasnya ada sembilan belas malaikat penjaga," (QS Al-Muddatstsir [74]: 26-30).
Kita harus bersyukur sebanyak-banyaknya ke hadirat Allah Swt., Rabb yang telah memberi kemudahan bagi kita menuju jalan-jalan Islam dan berbuat amal kebajikan; sebagaimana Dia Swt. meneteskan air embun di atas dedaunan yang segar. Segala puji bagi Allah Swt. yang telah menjadikan qalbu kita cenderung kepada Al-Qur’an dan mengikuti jejak Rasulullah Saw.. Semoga Allah Swt. senantiasa menyempurnakan karunia-Nya bagi kita, dan semoga kita dapat senantiasa mensyukuri segala karunia-Nya.
Berikutnya, diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin ‘Amru bin al-Âsh ra., ia berkata, "Pada suatu hari, Rasulullah Saw. datang kepada kami sambil membawa dua buah buku. Beliau bertanya, ‘Tahukah kalian tentang kedua buku ini?’ Jawab para sahabat, ‘Tidak, ya Rasulullah, kecuali kalau engkau memberitahukannya kepada kami.’ Kemudian beliau Saw. bersabda, ‘Buku yang ada di tangan kananku ini berisi catatan dari Allah Swt. tentang namanama sejumlah penghuni surga dan nama-nama ayah-ayah mereka serta suku-suku mereka. Semuanya telah dicatat di dalam buku ini dari awal sampai akhir, tanpa ditambah atau dikurangi sedikit pun.’ Kemudian beliau Saw. menyebutkan tentang buku yang berada di tangan kiri beliau, ‘Sedangkan buku ini adalah catatan dari Allah Swt. tentang nama-nama calon penghuni neraka, termasuk juga nama-nama dari ayah-ayah mereka dan suku-suku mereka, sedikit pun tidak pernah ditambah atau dikurangi.’ Para sahabat ra. kemudian mengajukan pertanyaan, ‘Ya Rasulullah, kalau begitu mengapa kami harus beramal, padahal amalan kami telah ditetapkan oleh Allah Swt. di dalam catatan-Nya?’ Beliau Saw. kemudian bersabda, ‚Beramalah kalian baik-baik, karena seorang yang ditetapkan sebagai calon penghuni surga, maka ia akan memperbanyak amal-amal kebajikannya sampai masuk ke dalam surga. Sebaliknya, seorang yang ditetapkan sebagai calon penghuni neraka, maka ia akan memperbanyak amal-amal keburukannya, sampai masuk ke dalam neraka. Sesungguhnya Allah Swt. telah menetapkan para calon penghuni surga dan para calon penghuni neraka."[12]
Berikut ini akan kami terangkan mengenai masalah yang pernah kami alami sendiri, ‚Aku pernah berada di atas kepala sahabat dari kawan dekatku yang tengah mendekati ajalnya, karena menderita penyakit liver, dan ia selalu merasa kesakitan karenanya. Sehingga ia berbalik ke sana sini karena merasakan sakit yang teramat. Sampai lisannya kelu dan tidak dapat mengucapkan kalimat apa pun, meski ia berusaha keras mengulangi beberapa kalimat yang ringan diucap. Ketika aku mendekatkan telinga ke dadanya, maka aku seolah mendengar suara bahwa qalbunya mengucapkan kalimat tahlil sebagai ganti dari ucapan dengan lisannya. Ia hidup dengan membersihkan dirinya, dan selalu menjaga kesuciannya. Pada waktu itu ia hidup sebagai seorang yang terasing. Ia mengalami sakit itu di tempat yang sungguh terasing, yaitu ketika sedang dalam perjalanan mengerjakan ibadah haji. Orang-orang yang mencintainya turut berdo’a di sekelilingnya, seolah olah Allah Swt. menyiapkan baginya untuk memasukkannya ke dalam surga.
Ia mengalami sakit saat dalam perjalanan mengerjakan ibadah haji. Setelah pulang, ia beristirahat di sebuah rumah sakit di wilayah Izmir, sebelum akhirnya ia bertemu dengan kaum kerabatnya. Untungnya, ia tidak meninggal dunia sebelum bertemu dengan kaum kerabatnya, seolah-olah ia tengah teraniaya menahan derita sakit yang ia alami. Pada Hari Kiamat kelak aku siap bersaksi atas keimanannya yang sangat kuat, dan kesiapannya untuk mati syahid. Alhamdulillâh, ternyata Allah Swt. memenuhi harapan orang itu sebagai seorang calon penghuni surga, dan ia meninggal dunia dalam keadaan beriman kepada-Nya, setelah ia sempat mengucapkan kalimat syahadat sebelum ia mengembuskan nafas yang terakhir. Semoga Allah Swt. senantiasa mengabulkan amal-amal kebajikan kita, dan menjadikan kita sebagai seorang calon penghuni surga-Nya.
Telah kami jelaskan tentang iradat atau kehendak manusia dan kehendak Allah Swt.. Sebenarnya yang menyebut tentang iradat atau kehendak manusia ini hanyalah sesuatu yang masih misteri. Sebab, kehendak Allah Swt. lebih kuat untuk mewujudkan kehendak manusia. Jadi, Allah Swt. berkehendak memasukkan seseorang ke dalam surga dengan amalamal kebajikannya, dan atau memasukkan seseorang ke dalam api neraka dengan dosa-dosanya. Oleh karena itu, kehendak manusia akan terwujud jika mendapat restu dari kehendak Allah Swt.. Sebagaimana yang tercantum dalam surah al-Infithâr berikut ini, "Sesungguhnya orang-orang yang banyak berbakti benar-benar berada dalam surga yang penuh kenikmatan, dan sesungguhnya orangorang yang durhaka benar-benar berada dalam neraka," (QS Al-Infithâr [82]: 13-14).
Jika demikian, lalu apa fungsi seorang manusia dalam masalah ini? Apa arti kebaikan dan keburukannya? Dan apa pula kadar kehendaknya serta kehendak Allah Swt.? Juga masih ada sejumlah pertanyaan yang kita kembalikan kepada Allah Yang Maha Mengetahui segala yang ghaib.
Sesungguhnya Allah Swt. telah menetapkan semua takdir-Nya di dalam kitab di Lauh al-Mahfuzh, sebelum diciptakan-Nya langit dan bumi. Kemudian setiap ketetapan dikalungkan oleh Allah Swt. pada leher setiap insan. Oleh karena itu, segala kehendak kita tidak akan terwujud tanpa bantuan dari kehendak Allah Swt..
Takdir adalah pandangan Allah Swt. kepada segala sesuatu yang berkaitan erat dengan kehendak kita. Takdir dengan pemahaman seperti itu tidak bertentangan dengan anggapan kaum Mu’tazilah dan kaum Jabbariyyah. Maksudnya, kehendak kita tidak akan mungkin bertentangan dengan kehendak Allah Swt.. Dengan kata lain, apa saja yang dikehendaki oleh manusia, pasti akan terwujud jika sesuatu yang dikehendakinya itu mendapatkan restu dari Allah Swt.. Sebab, tanpa restu dari sisi Allah Swt., maka kehendak manusia apa pun bentuknya, pasti tidak akan mungkin terwujud.
Di atas telah kami sampaikan, bahwa Allah Swt. mencatat segala ketetapan-Nya di alam semesta ini di dalam sebuah kitab di Lauh al-Mahfuzh. Kemudian semua ketetapan itu dikalungkan pada leher setiap orang, dan para malaikat juga mencatat apa yang dilakukan oleh setiap orang di mana pun ia berada. Jadi, ketetapan Allah Swt. yang telah tercantum di Lauh al-Mahfuzh akan dilakukan oleh setiap orang sesuai dengan kehendak-Nya, dimana para malaikat juga mencatat semua perbuatan hamba dalam buku catatannya masing-masing. Seperti telah disebutkan dalam firman Allah Swt. berikut ini, "Dan diletakkanlah kitab, lalu engkau akan melihat orang-orang bersalah ketakutan terhadap apa yang tertulis di dalamnya, dan mereka berkata, ‘Aduhai celaka kami, kitab apakah ini yang tidak meninggalkan yang kecil dan tidak pula yang besar, melainkan ia mencatat semuanya.’ Dan mereka dapati apa yang telah mereka kerjakan ada (tertulis). Dan Rabbmu tidak menganiaya seorang pun," (QS Al- Kahfi [18]: 49).
Di lain kesempatan, Allah Swt. juga berfirman, "[Allah berfirman], ‘Inilah kitab (catatan) Kami yang menuturkan terhadapmu dengan benar. Sesungguhnya Kami telah menyuruh mencatat apa yang telah kalian kerjakan,’" (QS Al-Jâtsiyah [45]: 29).
Allah Swt. juga berfirman, "Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya, melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir," (QS Qâf [50]: 18).
Allah Swt. juga berfirman, "Yang mulia --di sisi Allah-- dan mencatat pekerjaan-pekerjaanmu itu, mereka mengetahui apa yang engkau kerjakan," (QS Al-Infithâr [82]: 11-12).
Antara catatan Allah Swt. yang tertulis di Lauh al-Mahfuzh tidak akan berbeda dengan yang ditulis oleh para malaikat yang mencatat segala perbuatan manusia. Sebab, catatan Allah Swt. di Lauh al-Mahfuzh akan dilaksanakan oleh setiap orang menurut kehendak-Nya, sedangkan para malaikat akan menulis setiap perbuatan manusia seperti yang telah dikehendaki oleh Allah dalam catatan-Nya di Lauh al-Mahfuzh.
Di antara catatan yang ditetapkan oleh Allah Swt. bagi manusia adalah suatu perjanjian yang diadakan oleh Allah dengan umat manusia. Ketika itu, mereka masih berada di alam ruh atau alam misal (molekul). Pada waktu itu, Allah Swt. menetapkan suatu perjanjian bagi umat manusia, dan mereka mengakui dengan keyakinan yang penuh bahwa Allah adalah Rabb bagi seluruh umat manusia. Tentang masalah ini, Allah Swt. telah mengabadikannya dalam firman-Nya, "Dan ingatlah, ketika Rabbmu mengeluarkan keturunan (anak cucu) Adam dari sulbi mereka, dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka, seraya berfirman, ‘"Bukankah Aku ini adalah Rabb kalian?’ Mereka menjawab, ‘Benar, Engkau adalah Rabba kami, dan kami menjadi saksi. Kami (Allah) lakukan yang demikian itu agar di Hari Kiamat kalian tidak mengatakan, ‘Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keahadan Allah).’ Atau agar kalian tidak mengatakan, ‘Sesungguhnya orangorang tua kami telah mempersekutukan Allah sejak dahulu, sedang kami ini adalah anak-anak keturunan yang datang sesudah mereka. Maka apakah Engkau akan membinasakan kami karena perbuatan orang-orang yang sesat dahulu?’" (QS Al-A’râf [7]: 172-173).
Maksud dari firman Allah Swt. di atas adalah, Allah telah mengambil perjanjian dari manusia ketika mereka masih berada di sulbi ayah-ayah mereka. Bahkan ketika mereka masih di alam arwah dan belum menjadi janin. Atau, mungkin juga pada saat mereka di dalam perut ibu mereka masing-masing, tepatnya ketika Allah Swt. memerintahkan kepada malaikat untuk meniupkan ruh kepada calon-calon manusia, maka di saat itulah Allah mengambil janji dari setiap orang. Adapun saksi yang menguatkan adanya perjanjian antara manusia dengan Allah Swt. adalah qalbu dan perasaan mereka sendiri.
Firman Allah Swt. di atas menyebutkan kata Rabbuka yang artinya adalah Rabb (Pemilik dirimu). Kata tersebut mengandung berbagai arti. Di antaranya, Dia yang memeliharamu, atau Dia-lah yang menyempurnakan wujudmu, atau Dia-lah yang membentukmu sebagai manusia dari indung telur seorang ibu dan bibit sperma seorang ayah. Maksudnya, Allah-lah yang menyediakan kalian suatu tempat untuk tumbuh sebagai manusia yang sempurna, sehingga janin seseorang dapat bernapas di tempat yang tidak mungkin bisa bernafas di dalamnya. Di tempat itu pula janin seseorang diberi makan dan diberikan aliran darah, sampai ia terlahir dari rahim ibunya setelah mengalami proses sembilan bulan lebih. Kemudian, setelah janin seseorang lahir ke alam dunia, maka ia diberi petunjuk untuk mengenal agama yang dibawa oleh Nabi Saw. Sehingga adakalanya seseorang dapat mencapai kedudukan yang tertinggi di sisi Allah Swt.. Oleh karena itulah Allah ‘Azza wa Jalla menyebutkan kata-kata Rabbuka dalam firman-Nya di atas, karena dengan rahmat-Nya seorang anak manusia dapat mengenal Rabbnya secara baik, sesuai dengan rahmat yang dilimpahkan kepadanya.
Selanjutnya, dalam firman Allah Swt. di atas juga disebutkan kalimat Alastu Birabbikum yang artinya apakah kalian bersaksi bahwa Aku adalah Rabb kalian? Maksudnya, tidak ada Tuhan lain yang dapat berbuat seperti Allah Swt.. Karena, Dia menciptakan manusia dari tanah, kemudian menempatkannya di surga, sehingga kedudukannya lebih mulia dari para malaikat.
Makna firman Allah Swt. di atas secara keseluruhan adalah sebagai berikut, ‚Wahai manusia, perhatikan baik-baik diri kalian mulai dari ubun-ubun sampai telapak kaki kalian. Setelah itu, renungkanlah apakah ada Rabb selain Aku (Allah Swt.) yang dapat menciptakan kalian dengan sempurna? Adakah Tuhan selain-Ku yang dapat menciptakan sejumlah wajah yang masing-masingnya saling berbeda bentuk maupun rupanya? Adakah Tuhan selain Aku yang dapat menciptakan berbagai perbedaan sidik jari dari bermilyar-milyar manusia? Oleh karena itu, Allah Swt. sangat pantas jika bertanya kepada umat manusia, bukankah Aku adalah Rabb kalian yang sebenarnya?‛ Tidak perlu kita perdebatkan, kapankah Allah Swt. mengajukan pertanyaan seperti itu kepada manusia, apakah ketika manusia masih berada di alam ruh, ataukah di alam molekul, atau justru setelah menjadi janin di dalam rahim seorang ibu? Yang terpenting dari jawab yang diberikan oleh para calon manusia itu menyatakan, ‚Engkau adalah Rabb kami.‛
Sesungguhnya Engkau adalah Rabb kami yang sebenarnya, tidak ada Tuhan lain selain Engkau bagi kami, karena hanya Engkau-lah yang mampu menciptakan diri kami dari tanah, kemudian dari setetes sperma, kemudian dari segumpal darah, yang berproses menjadi sekerat daging, hingga kami tercipta sebagai manusia yang sempurna.
Itulah kesaksian yang pernah diberikan oleh manusia terhadap Dzat yang telah menciptakannya, sehingga Rasulullah Saw. pernah menyebutkan dalam sabda beliau, "Tiada seorang bayi yang terlahir ke alam dunia, kecuali ia terlahir dalam keadaan fitrah (suci). Setelah itu, kedua orang tuanya-lah yang menjadikannya sebagai seorang Yahudi, Nashrani atau Majusi."[13]
Maksud dari hadis di atas adalah, setiap bayi yang terlahir ke alam dunia ini akan selalu dilahirkan dalam keadaan fitrah (suci). Artinya, ia siap untuk percaya kepada Allah Swt. sebagai Rabbnya. Ia bagaikan sehelai kertas berwarna putih yang belum tertulisi huruf apa pun. Karenanya, ia siap untuk ditulisi kalimat apa pun menurut kehendak penulisnya.
Sesungguhnya anak yang baru dilahirkan itu berada dalam keadaan suci, lalu bagaimana selanjutnya? Tentunya, akan tergantung dari kaum kerabatnya sendiri, seperti ayah dan ibunya, paman dan bibinya, bahkan orang-orang yang sejauh apa pun dapat memberinya pengaruh. Sehingga anak bayi yang tadinya suci memungkinkan untuk menjadi seorang Nashrani, Yahudi, atau seorang Majusi. Semuanya bergantung kepada siapa yang memberinya pengaruh. Bahkan, dewasa ini ada pula yang membawanya kepada kepercayaan Komunis, Marksis, ataupun Kapitalis. Sehingga anak bayi yang tadinya suci menjadi orang-orang yang jauh dari pengaruh agama.
Lain halnya dengan seorang anak bayi yang sejak kecil telah dikenalkan dengan Allah Swt. dan ajaran Islam, maka sanubarinya akan condong kepada Allah, agama, dan Nabinya. Sebenarnya alam semesta ini laksana sebuah buku yang dapat mengenalkan kita kepada Allah Swt.. Demikian pula kitab Al-Qur’an bagaikan sebuah kitab induk yang mampu mengenalkan kita kepada Allah Swt.. Sedangkan Rasulullah Saw. adalah seseorang yang dipercaya oleh Allah mengemban tugas membawa petunjuk yang mengenalkan kita kepada-Nya Swt..
Al-Qur’an adalah sebuah kitab induk yang tidak dapat berbicara dan tidak pula dapat berdusta. Walau demikian, kitab induk itu mampu mengajak manusia seperti Kant dan Bergson dan sekelompok ahli filsafat lainnya dari sisi yang amat dalam untuk mengenalkan diri mereka kepada Allah Swt. melalui sejumlah argumentasi dan pemikiran yang matang tentang alam semesta; bahwa yang mengatur alam dunia beserta semesta raya ini pasti merupakan Rabb Yang Mahaahad. Mereka akhirnya berpendapat, bahwa hanya Dia Swt. yang mampu menciptakan, memelihara dan mencukupi segala kebutuhan alam semesta. Dia adalah Allah Yang Mahaahad, tidak berbilang.
Selanjutnya, mari kita membahas lebih dalam lagi tentang pernyataan yang menyatakan bahwa setiap anak bayi yang baru dilahirkan berada dalam keadaan suci. Dengan kalimat lain, ia juga bersaksi bahwa Sang Maha Pencipta adalah Allah Yang Mahaahad. Terdapat pula sebuah hadis yang mengatakan, "Siapa pun yang mengenali dirinya secara baik, maka ia akan mengenali Rabbnya dengan baik pula."[14] Maksud dari pernyataan hadis ini adalah, siapa yang mengenali dirinya dengan segenap qalbu yang ada (tersedia) di dalam dirinya, maka ia akan mengenali Rabbnya secara baik pula. Tentang masalah ini pernah diterangkan oleh seorang ahli filsafat bernama Nayyazi al-Mishri[15] yang mengungkapkannya dalam sebuah bait-bait puisi yang artinya sebagai berikut,
Pada saat aku mencari siapa pencipta diriku,
dan pencipta alam semesta ini,
maka aku tidak menemukannya,
melainkan tersedia di dalam diriku sendiri.
Pemikiran semacam ini telah mencapai pada puncak kematangannya. Demikian pula dengan apa yang diyakini oleh para wali yang mencari jawaban tentang siapa sejatinya Rabb Yang Maha Menciptakan, pasti mereka mendapatkan bahwa Sang Maha Pencipta atas dirinya adalah Allah Yang Maha Esa, dan jawaban itu datangnya dari dalam sanubarinya sendiri.
Sesungguhnya pemikiran untuk menemukan siapa Sang Maha Pencipta alam semesta, ada kalanya diselewengkan oleh nafsu dan setan, sehingga diri seseorang merasa sombong untuk tunduk kepada Sang Maha Pencipta. Akan tetapi, ada kalanya kesombongan qalbu seseorang akan menyebabkan ia justru menemukan jalan petunjuk menuju keridhaan Rabbnya Swt..
Setiap manusia yang dihadirkan ke alam dunia ini, pasti disertai perasaan yang menunjukkan bahwa yang menciptakannya dari tidak ada menjadi ada adalah Rabb Yang Maha Esa. Akan tetapi, kebanyakan manusia dilalaikan oleh kesibukan duniawinya, sehingga mata batinnya tertutupi, sampai ia tidak lagi mengenal pencipta dirinya sendiri.
Adapun pertanyaan yang terdapat dalam firman Allah Swt. di atas, ‚Bukankah Aku ini Rabb kalian?‛ Firman Allah Swt. tersebut telah dijelaskan secara panjang lebar oleh sabda-sabda Nabi Saw. yang diriwayatkan oleh tiga puluh sahabat beliau yang mulia. Di antara mereka itu adalah, Sayyidina ‘Ali, Abu Sa’id al-Khudri, Suraqah bin Malik, Sayyidah ‘Aisyah, ‘Abdullâh bin az-Zubair, ‘Abdullâh bin ‘Abbas, ‘Abdullâh bin Mas’ud, ‘Abdullâh bin ‘Amru bin al-Âsh, serta lainnya ra.
Adapun hadis yang dimaksud adalah sebagai berikut. ‘Umar Ibnul Khaththab ra. pernah mengatakan, ‚Pada suatu kesempatan, aku mendengar Rasulullah Saw. bersabda, bahwa setelah Allah Swt. menciptakan Adam as., maka Dia mengusap punggung Adam dengan tangan kanan-Nya dan mengeluarkan seluruh anak cucunya dari punggung (sulbi)nya, seraya berfirman, ‘Aku menciptakan mereka untuk menghuni surga. Mereka akan melakukan segala perbuatan baik yang menyebabkan mereka masuk ke dalam surga.’ Kemudian, Allah Swt. mengusap punggung Adam sekali lagi dan mengeluarkan anak cucunya dari punggung (sulbi)nya seraya berfirman, "Aku menciptakan mereka untuk menghuni neraka. Mereka akan melakukan segala perbuatan buruk yang menyebabkan mereka masuk ke dalam neraka.’ Seorang sahabat mengajukan pertanyaan, ‘Ya Rasulullah, kalau Allah Swt. telah menentukan takdir kita seperti itu, mengapa kita harus beramal?’ Rasulullah Saw. menjawab dengan bersabda, ‘Kalau Allah Swt. menciptakan seseorang sebagai calon penghuni surga, maka Dia akan menjadikannya sebagai seorang yang suka berbuat amal-amal kebajikan sampai ia mati, sehingga ia akan dimasukkan ke dalam surga-Nya. Demikian pula jika Allah Swt. menciptakan seorang sebagai calon penghuni neraka, maka Dia akan menjadikannya sebagai seorang yang suka berbuat amal-amal buruk sampai ia mati, sehingga ia akan dimasukkan ke dalam neraka-Nya.’"[16]
Dalam riwayat lain yang pernah disampaikan oleh sahabat Ubai bin Ka’ab ra. juga disebutkan, bahwa pada saat Allah Swt. menurunkan firman-Nya di atas (QS Al-A’râf *7+: 172-173), maka Allah mengumpulkan semua manusia di alam arwah, kemudian mereka ditanya, "Bukankah Aku ini sebagai Rabb kalian?" Jawab mereka, "Benar, Engkau adalah Rabb kami."[17]
Terdapat pula hadis lain yang diriwayatkan oleh ‘Abdullâh bin Mas’ud dan Abu Hurairah ra., bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda, "Seseorang telah ditetapkan sebagai seorang yang sengsara sejak ia berada di dalam perut ibunya. Demikian pula seseorang telah ditetapkan sebagai seorang yang berbahagia sejak ia berada di dalam perut ibunya."[18]
Kebahagiaan dan kesengsaraan seseorang telah ditetapkan oleh Allah Swt. dalam suratan takdir-Nya sejak ia berada di dalam perut ibunya. Meskipun demikian, kebahagiaan dan kesengsaraan yang terjadi pada diri seseorang sangat terkait erat dengan perilaku orang itu sendiri.[19]
Ada hadis lain riwayat Muttafaqun ‘Alaih (Imam Bukhari dan Imam Muslim) yang menyatakan seputar dialog antara Nabi Allah Sayyidina Musa dan Sayyidina Adam as. berikut ini, "Thawus berkata, aku pernah mendengar Abu Hurairah berkata, bahwa Nabi Saw. bersabda, ‘Nabi Allah Sayyidina Adam pernah berdialog dengan Sayyidina Musa as.’ Kata Musa, ‘Wahai Adam, engkau adalah ayah kami, mengapa engkau menyebabkan kami kecewa dan menyebabkan kami keluar dari surga?’ Jawab Adam, ‘Wahai Musa, Allah telah memilihmu untuk kawan berbicara dan telah menetapkan kejadianmu dengan tangan-Nya sendiri, lalu mengapa engkau mencelaku dalam urusan yang telah diputuskan Allah kepadaku, empat puluh tahun sebelum aku dijadikan?’ Nabi Adam mengulang argumentasinya itu sebanyak tiga kali kepada Nabi Musa as."[20]
Para ulama salaf menafsirkan dialog antara Nabi Allah Musa dan Adam as. sebagai berikut,
Nabi Musa bertanya kepada Nabi Adam as., karena Adam adalah seorang ayah bagi beliau. Nabi Adam dan Nabi Musa as. diberi syari’at masing-masing oleh Allah Swt., sehingga masing-masing dari keduanya tidak mempunyai dosa atas periodesasi syaria’t antara satu dengan lainnya. Sebab, masing-masing beliau telah diberi risalah sendiri-sendiri. Surga bukanlah tempat untuk beramal. Sedangkan tempat untuk beramal yang sesugguhnya di alam dunia. Nabi Adam as. tidak pernah diberi tugas apa pun saat berada di dalam surga. Sedangkan Nabi Allah Musa as. menyandarkan Nabi Adam menurut tuntutan yang sesuai dengan aturan yang berlaku di alam dunia. Oleh karena itu, bantahan Nabi Adam as. dapat diterima. Nabi Adam as ingin menjelaskan kepada Nabi Musa as., bahwa kebaikan maupun keburukan hanya Allah Swt. yang menentukan, dan hanya Dia Yang Mahabenar. Karenanya, Nabi Adam as. berani memberi argumentasi kepada Musa as.[21]
Sebenarnya kami tidak ingin mempertentangkan makna hadis di atas untuk membenarkan ucapan para ulama salaf. Sebab, masalah ini tidak dapat dijadikan dalil melalui cara seperti itu. Akan tetapi, kami tidak ingin meninggalkan pembahasan ini tanpa mengetahui hikmah hadis di atas. Terlebih lagi hadis tersebut menjelaskan kepada kita bahwa masalah yang tengah didiskusikan antara Nabi Musa dan Nabi Adam as. merupakan masalah takdir yang telah ditetapkan oleh Allah Swt. pada waktu yang sebenarnya. Oleh karena itu, Nabi Allah Adam as. sampai mengulangi ucapan beliau hingga tiga kali. Meskipun maksud beliau, Nabi Musa as. tidak bersalah, dan Nabi Adam as. sendiri juga tidak merasa menyalahi takdir-Nya. Sebab, beliau dikeluarkan dari surga merupakan bagian dari suratan takdir Allah Swt. bagi diri beliau.
Inti dari permasalahan takdir itu sendiri sebenarnya ada dua. Yang pertama, takdir Allah Swt. yang menetapkan atas segala sesuatu sesuai dengan ilmu Allah Yang Maha Luas. Takdir jenis ini ditetapkan oleh Allah Swt. atas seluruh bentuk ciptaan-Nya. Yang kedua, ada takdir yang terkait erat dengan kehendak makhluk (manusia).
Nabi Allah Musa as. telah memahami jenis takdir yang terkait dengan kehendak manusia saja. Karenya, beliau mengajukan argumentasi tentang dikeluarnya Nabi Adam as. dari surga. Sedangkan Nabi Adam as. memandang takdir dari dua sisi, yaitu; dari sisi takdir Allah Swt. itu sendiri, dan dari sisi kehendak manusia. Artinya, beliau as. menilainya dari kedua sisi takdir. Karenanya, beliau berani mengajukan argumentasi kepada Nabi Musa as. bahwa yang menakdirkan beliau keluar dari surga hanyalah Allah Swt.. Sebab, menurut Nabi Adam as., Nabi Musa as. tidak memprotes kepada beliau tentang sisi pandang Nabi Adam dikeluarkan dari surga. Sebab, hal itu telah ditakdirkan oleh Allah Swt. bagi beliau. Jadi, beliau tidak diprotes oleh Nabi Musa atas perkara itu, karena yang berwenang mengeluarkan Nabi Adam as. dari surga hanyalah Allah Swt., dan bukan atas kemauanya sendiri.
Di samping itu, kehendak manusia tidak mempunyai hubungan yang bertalian (struktural) dengan anggota-anggota tubuhnya yang berada di bagian luar. Sebab, kehendak manusia merupakan sumber utama untuk dapat melakukan perbuatan dosa. Setiap orang mempunyai kehendak di dalam sanubarinya, akan tetapi yang melaksanakannya adalah anggota tubuhnya yang berada di bagian luar. Kiranya firman Allah Swt. berikut ini dapat memberikan pengertian yang lebih luas dan mendalam, "Apa saja nikmat yang engkau peroleh adalah dari sisi Allah. Dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari kesalahan dirimu sendiri," (QS Al-Nisâ’ [4]: 79).
Akan tetapi, pada keduanya terdapat kaitan dengan kehendak Allah Swt.. Seperti yang disebutkan dalam firman Allah Swt. berikut ini, "Dan engkau tidak mampu menempuh jalan itu, kecuali jika dikehendaki oleh Allah. Sesungguhnya Allah adalah Dzat Yang Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana," (QS Al-Insân [76]: 30).
Memang, ketetapan dan kehendak Allah Swt. dapat mengalahkan kehendak makhluk-Nya. Karenanya, kehendak manusia sangat kecil jika harus dibandingkan dengan kehendak Allah Swt.. Meski demikian, karena Allah Swt. yang telah menciptakan alam semesta ini, sehingga kehendak manusia tidak bernilai sedikit pun jika dibandingkan dengan kehendak- Nya.
Oleh karena itu, hendaknya kita memahami takdir dengan sudut pandangan yang menyeluruh. Seperti disebutkan dalam firman Allah Swt. berikut ini, "Sekali-kali tidak demikian kondisinya. Sesungguhnya Al-Qur’an itu adalah peringatan. Maka siapa saja yang menghendaki, niscaya ia mengambil pelajaran darinya (Al-Qur’an). Dan mereka tidak akan mengambil pelajaran darinya, kecuali jika Allah menghendakinya. Dia (Allah) adalah Rabb yang patut kita bertakwa kepada-Nya, dan berhak memberi ampunan," (QS Al-Muddatstsir [74]: 54-56).
Pada saat diajukan pertanyaan kepada Imam al-Ghazali, ‚Apabila kita tidak dapat berbuat --dalam arti menetapkan-- apa saja sesuai dengan keinginan (kehendak) kita, meski sesungguhnya kita semua mempunyai kehendak, lalu untuk apa fungsi kehendak itu?‛ Maka jawab Imam al-Ghazali, ‚Kalau Anda berpikiran semacam itu, lalu siapakah yang memberi kehendak kepada manusia untuk menentukan pilihannya?‛
Sesungguhnya kita semua termasuk orang-orang yang diberi taklif atau tugas, dan kita wajib melakukannya dengan baik; hingga seolah-olah kita adalah pelaku yang sekaligus sebagai penetap atau yang menetapkan hasilnya. Akan tetapi, terhadap batasan tugas dan berbagai jenisnya, maka tidak seorang pun yang dapat mengetahui dengan jelas hasil akhirnya, kecuali hanya Allah Swt.. Allah ‘Azza wa Jalla telah memberikan kepada kita segala hal sebagai sumber kebaikan atau keburukan. Namun demikian, kita tidak mungkin mengetahui secara pasti apakah yang menjadi hasil akhir dari pelaksanaan tugas itu, baik pada bagian dalam maupun bagian luarnya? Setiap orang cenderung menilai, bahwa seseorang yang memakai busana yang mewah dan yang memakai mahkota di kepalanya, maka ia akan disimpulkan sebagai seorang penguasa, atau memiliki sesuatu yang sangat mahal nilainya. Akan tetapi, ada pula pihak lain yang menilainya tidak berharga sama sekali. Siapa yang menilainya dari kedua sisi dimaksud, maka ia telah berhasil menghimpun masalah takdir. Sebaliknya, siapa yang tidak berhasil menilainya dari kedua sisi dimaksud, maka ia termasuk kelompok Jabbariyyah atau kelompok Mu’tazilah.
Sesungguhnya Allah Swt. telah menetapkan segala sesuatu dalam takdir-Nya. Namun, di samping takdir-Nya yang tidak mungkin dapat kita ketahui secara pasti, ada pula jenis takdir yang telah dikalung (lilit)kan pada leher kita, dan takdir yang itu juga tidak kita ketahui hasil akhirnya. Allah Swt. menciptakan kebaikan dan keburukan, akan tetapi Dia tidak meridhai seorang yang berbuat keburukan, serta Dia hanya meridhai seorang hamba yang berbuat kebaikan. Meskipun demikian, pada dasarnya manusia tetap tidak ingin berbuat keburukan kepada Allah Swt., dan tidak pula senang menyaksikan orang lain yang senang berbuat keburukan. Walau begitu, pada saat seseorang sedang ingin berbuat keburukan, maka Allah Swt.-lah yang menciptakan-Nya, bukan yang lain.
Sebaiknya kami berikan contoh atau penjelasan tambahan di seputar permasalahan takdir ini, agar lebih komprehensif dalam memahaminya. Pada saat Allah Swt. menurunkan firman-Nya berikut ini, "Sesungguhnya kalian, dan apa saja yang kalian sembah selain Allah, adalah bahan bakar Jahannam, serta kalian pasti masuk ke dalamnya" (QS Al-Anbiyâ’ [21]: 98), orang-orang musyrik menjadi bingung dibuatnya. Sebab, ayat tersebut ditujukan kepada mereka dengan makna, bahwa mereka dan seluruh patung (sesembahan) yang mereka sembah akan di jadikan oleh Allah Swt. sebagai bahan bakar api neraka Jahannam.
Ayat di atas ditujukan yang pertama dan secara langsung kepada patung-patung yang pada waktu itu tengah disembah oleh bangsa Arab di sekitar Ka’bah, yang jumlahnya sebanyak tiga ratus enam puluh buah patung. Firman Allah Swt. tersebut mengancam patung-patung yang dibanggakan oleh kaum musyrik bahwa patung-patung itu akan dijadikan bahan bakar neraka Jahannam. Tentunya mereka tidak diam saja menghadapi ancaman Allah Swt. itu. Mereka menentang firman Allah Swt. tersebut dengan keras, meski sesungguhnya mereka tidak dapat mengetahui jalannya untuk menentang Allah. Yaitu, bagaimana cara menjawab firman Allah Swt. tersebut. Pada saat mereka tidak mampu menjawab firman Allah Swt. itulah mereka memerintahkan kepada ‘Abdullâh bin az-Ziba’ri[22] untuk menjawab firman Allah tersebut dengan pikiran yang mengandung unsur falsafi. Maka ‘Abdullâh bin az-Ziba’ri berkata kepada Rasulullah Saw., ‚Apakah yang engkau maksudkan dengan mengatakan ayat tersebut, padahal sebelum ini mayoritas kita adalah para penyembah matahari, bulan, malaikat, Uzair dan ‘Isa putra Maryam as.? Apakah semua itu akan dijadikan kayu bakar api neraka bersama berhala-berhala kami?‛ Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya sebagai berikut, "Bahwasanya orang-orang yang telah ada untuk mereka ketetapan yang baik dari Kami, mereka itu dijauhkan dari siksa neraka," (QS Al-Anbiyâ’ [21]: 101).[23]
Maksudnya, sesungguhnya orang-orang yang pakaian mereka tidak dikotori oleh debu-debu keduniaan, mereka akan dijauhkan dari sengatan siksa api neraka, termasuk juga para malaikat yang tidak pernah lalai dari bersikap taat kepada Allah Swt. walau sekejap, dimana mereka-mereka ini tidak akan menjadi kayu bahan bakar api neraka Jahannam.
Nabi ‘Isa al-Masih as. adalah ruh dan kalimat Allah Swt., beliau berhasil meniupkan kehidupan pada orang-orang mati dan berhasil menghidupkan qalbu kepada orang-orang yang sudah mati --dengan izin Allah Swt.--. Termasuk juga Uzair adalah seorang Nabi yang agung. Kedua Nabi tersebut sejak dahulu telah ditetapkan akan dijauhkan dari siksa api neraka. Akan tetapi, orang-orang yang mempercayai dengan kepercayaan yang salah, mereka akan mengetahui dampak negatif dari perbuatan mereka sendiri. Sebab, takdir Allah Swt. telah menetapkan bahwa para Nabi dan para malaikat akan ditempatkan pada posisi yang mulia di sisi-Nya. Adapun kalimat as-Sabaqa bil Husna sangat terkait dengan kepercayaan kita terhadap takdir-Nya.
Diriwayatkan dari Ibrahim bin ‘Abdurrahman bin ‘Auf ra., ia mengatakan, "Pada suatu hari ‘Abdurrahman bin ‘Auf pingsan. Setelah tersadar kembali dari pingsannya (siuman) ia menanyakan, ‘Apakah aku tadi telah pingsan?’ Orang-orang di sekitarnya menjawab, ‘Ya, engkau tadi pingsan beberapa saat.’ ‘Abdurrahman bin ‘Auf mengatakan, bahwa tadi ia telah didatangi oleh dua malaikat, dan keduanya berkata kepadanya, ‚Maukah engkau kami ajak untuk menghadap kepada Rabb Yang Mahamulia?’ Lalu salah satu dari keduanya menambahkan, ‘Sesungguhnya laki-laki ini termasuk seorang yang ditakdirkan hidup bahagia sejak ia berada di dalam perut ibunya, dan Allah akan memberikan kepadanya berikut anak-cucunya kebahagiaan sekehendak-Nya.’ Maka ‘Abdurrahman sempat hidup setelah peristiwa itu selama satu bulan tersisa."[24]
Riwayat di atas sangat erat kaitannya dengan sabda Nabi Saw. berikut ini, "Demi Allah, adakalanya seseorang di antara kalian selalu beramal dengan amalan ahli neraka, sehingga antara dirinya dengan neraka hanya sedekat satu hasta. Akan tetapi, ada suratan takdir dari Allah yang menyatakan bahwa ia termasuk calon penghuni surga, sehingga ia kemudian beramal dengan amalan ahli surga, sampai akhirnya ia masuk ke dalam surga. Adakalanya pula seseorang di antara kalian selalu beramal dengan amalan ahli surga, sampai seolah-olah jarak antara dirinya dengan surga hanya tinggal satu hasta. Akan tetapi, kemudian ada takdir dari Allah yang menyatakan bahwa ia termasuk calon penghuni neraka, sampai akhirnya ia masuk ke dalam api neraka."[25]
Perlu diketahui di sini, bahwa sahabat ‘Abdurrahman bin ‘Auf ra. adalah salah seorang dari kesepuluh sahabat yang telah diberitakan oleh Nabi Saw. sebagai calon penghuni surga. Akan tetapi, yang berkaitan dengan pembicaraan kita kali ini adalah adanya takdir Allah Swt. yang telah ditulis sebelum diciptakannya dunia dan alam semesta.
Diriwayatkan dari ‘Amir bin Sa’ad bin Abi Waqqash ra. mengenai sebuah kejadian yang ia dapatkan dari ayahnya, bahwa pada saat Ibnu Abi Waqqash melintasi di suatu jalan, tiba-tiba ada seorang laki-laki sedang mencaci maki ‘Ali, Thalhah, dan al-Zubair ra.. Maka segera Ibnu Abi Waqqash mengatakan kepadanya, ‚Sesungguhnya engkau telah mencacimaki sejumlah orang yang telah ditakdirkan oleh Allah Swt. sebagai calon penghuni surga. Demi Allah, kalau engkau tidak berhenti dari mencaci mereka, maka aku akan berdo’a kepada Allah Swt. untuk kebinasaan dirimu.‛ Orang itu pun kemudian balik menyerang Ibnu Abi Waqqash dengan mengatakan, ‚Mengapa engkau menakuti aku, seolah-olah engkau adalah seorang Nabi.‛ Hingga membuat Sa’ad memohon dalam do’a yang dipanjatkannya, ‚Ya Allah, jika orang ini mencaci sekelompok orang yang telah Engkau takdirkan sebagai calon ahli surga, maka turunkan siksamu baginya.‛ Maka, dengan takdir Allah Swt. ada seekor unta betina yang mengejar laki-laki itu sampai ia terjatuh dan diinjaknya hingga binasa. Setelah peristiwa tersebut, aku (‘Amir bin Sa’ad) menyaksikan orang-orang mengikuti Sa’ad bin Abi Waqqash seraya berkata, ‚Sungguh do’a Sa’ad bin Abi Waqqash (Aba Ishaq) langsung dikabulkan oleh Allah Swt..‛[26]
Sebenarnya para sahabat Nabi itu adalah orang-orang yang telah dipilih oleh Allah Swt. sebagai pendamping beliau Saw. Sayyidina ‘Ali bin Abi Thalib ra. termasuk sahabat Nabi yang paling dekat, menantu beliau, dan orang yang sering dipuji oleh Nabi.
Sahabat Thalhah bin ‘Ubaidillâh ra. adalah seorang sahabat yang membela Rasulullah Saw. pada waktu peperangan Uhud dengan gagah berani, sampai tangannya terluka sangat parah. Sampai beliau Saw. secara khusus mengatakan pada saat itu, ‚Tolong selamatkan Thalhah.‛[27]
Al-Zubair bin al-Awwam ra. juga pernah dijuluki oleh Nabi Saw. sebagai seorang Hawari (julukan bagi para pengikut setia dari Nabi ‘Isa as.-penerj), seperti dikatakan dalam sabda beliau berikut ini, ‚Sesungguhnya pada setiap Nabi diberi kawan setia yang terdekat. Adapun kawan terdekatku adalah al-Zubair bin al-Awwam.‛[28]
Sedangkan Sa’ad bin Abi Waqqash adalah seorang sahabat Nabi Saw. yang tidak pernah rela apabila ia menyaksikan orang lain yang mencaci maki para sahabat beliau. Ia adalah saudara sepupu (misan) dari Nabi. Dan, ia pernah mati-matian membela Nabi di medan peperangan Uhud,[29] sampai beliau Saw. pernah mengangkat kedua tangan sambil berdo’a, ‚Ya Allah, kabulkanlah setiap do’a Sa’ad bin Abi Waqqash.‛[30]
Semua orang dari kalangan sahabat waktu itu paling takut kepada do’a dari Sa’ad bin Abi Waqqash ra. Sebab, setiap do’anya selalu dikabulkan oleh Allah Swt.. Dan, keseluruhan sahabat Nabi Saw. pernah dido’akan oleh beliau menjadi para penempuh jalan menuju surga.
Setiap orang, meskipun ia tengah berbuat suatu amalan, maka hendaknya ia meyakini bahwa di sana tersedia takdir Allah Swt. yang telah menetapkan lebih dahulu sebelum ia berbuat segala sesuatu. Telah kami terangkan di atas, Allah Swt. menetapkan dalam garis takdir-Nya bahwa setiap manusia akan berbuat apa saja yang telah ditetapkan oleh Allah dalam garis takdir-Nya, dan Allah Maha Mengetahui segala perbuatan yang telah maupun akan diperbuat oleh seorang hamba, karena perbuatannya tidak akan pernah bertentangan dengan apa yang ditetapkan oleh Allah dalam takdir-Nya. Dengan kata lain, Allah Maha Mengetahui segala sesuatu yang belum terjadi maupun yang akan segera terjadi. Semuanya telah ditetapkan oleh Allah Swt. dalam daftar takdir-Nya. Sehingga setiap orang akan berbuat segala sesuatu sesuai dengan takdir yang telah ditetapkan oleh Allah Swt. di Lauh al-Mahfuzh. Kemudian para malaikat akan mencatat setiap perbuatan, sehingga catatan Allah dan catatan para malaikat tidak akan bertentangan.
Ya Allah, kumpulkan kami bersama orang-orang yang telah ditakdirkan sebagai orang-orang yang bernasib baik di sisi-Mu,
Amin.
Manusia Berusaha, Allah yang Menentukan
Bagaimana proses manusia mencapai kejayaan?
Manusia mencapai kejayaan melalui beberapa proses. Proses itu dimulakan dengan kita berusaha, kemudian bermunajat, berdoa, bertawakal dan akhirnya Allah SWT mengizinkannya.
Berusaha adalah ‘wajib’ bagi setiap muslimin dan muslimat. Kita dilarang sama sekali sekadar berdoa dan bertawakal atau berserah kepada Allah SWT, sebelum berusaha bersungguh-sungguh.
Selepas kita berusaha bermati-matian, barulah kita berdoa dan bergantung harap kepada Allah SWT. Seterusnya, bertawakal kepada Allah SWT atas apa yang telah kita usahakan.
‘Tawakal’ membawa maksud menyerahkan kembali usaha kita itu kepada Allah SWT untuk dinilai.
Jika Allah SWT mengizinkan kejayaan itu milik kita, barulah kita akan beroleh kejayaan. Jika Allah SWT tidak mengizinkan, maka kita tidak akan beroleh kejayaan.
Begitulah proses kita mencapai kejayaan. Itulah hakikat pegangan Ahli Sunah Wal-Jamaah, yang perlu kita yakini. Manusia hanya mampu berusaha dan Allah SWT yang menentukan segala-galanya.
Maka, janganlah kita menghina-hina orang yang tidak solat, atau merendah-rendahkan orang yang gagal dalam hidup mahu pun peperiksaan. Sesungguhnya, kita mungkin akan menjadi lebih teruk daripada mereka, jika Allah SWT berkehendak.
Sebab itu apabila muazin melaung;
'Mari menuju kejayaan'
Rasulullah SAW mengajar kita menjawab ajakan tersebut dengan kalimah;
'Tiada daya upaya melainkan dengan izin Allah'
Dalam erti kata lain, tidak ada sekelumit kejayaan yang mampu kita capai jika Allah SWT tidak mengizinkan. Berusaha bermati-matian pun kita tidak akan berjaya jika Allah SWT tidak mengizinkan. Oleh itu, janganlah kita sombong dan berbangga diri serta riak dengan kejayaan yang kita perolehi. Sesungguhnya jika Allah SWT tidak mengizinkan, semua itu tidak mungkin menjadi milik kita. Sesungguhnya sombong, riak dan berbangga dengan kejayaan diri sendiri, semua itu sifat syaitan laknatullah.
Wallahu'alam.
Manusia mencapai kejayaan melalui beberapa proses. Proses itu dimulakan dengan kita berusaha, kemudian bermunajat, berdoa, bertawakal dan akhirnya Allah SWT mengizinkannya.
Berusaha adalah ‘wajib’ bagi setiap muslimin dan muslimat. Kita dilarang sama sekali sekadar berdoa dan bertawakal atau berserah kepada Allah SWT, sebelum berusaha bersungguh-sungguh.
Selepas kita berusaha bermati-matian, barulah kita berdoa dan bergantung harap kepada Allah SWT. Seterusnya, bertawakal kepada Allah SWT atas apa yang telah kita usahakan.
‘Tawakal’ membawa maksud menyerahkan kembali usaha kita itu kepada Allah SWT untuk dinilai.
Jika Allah SWT mengizinkan kejayaan itu milik kita, barulah kita akan beroleh kejayaan. Jika Allah SWT tidak mengizinkan, maka kita tidak akan beroleh kejayaan.
Begitulah proses kita mencapai kejayaan. Itulah hakikat pegangan Ahli Sunah Wal-Jamaah, yang perlu kita yakini. Manusia hanya mampu berusaha dan Allah SWT yang menentukan segala-galanya.
Maka, janganlah kita menghina-hina orang yang tidak solat, atau merendah-rendahkan orang yang gagal dalam hidup mahu pun peperiksaan. Sesungguhnya, kita mungkin akan menjadi lebih teruk daripada mereka, jika Allah SWT berkehendak.
Sebab itu apabila muazin melaung;
'Mari menuju kejayaan'
Rasulullah SAW mengajar kita menjawab ajakan tersebut dengan kalimah;
'Tiada daya upaya melainkan dengan izin Allah'
Dalam erti kata lain, tidak ada sekelumit kejayaan yang mampu kita capai jika Allah SWT tidak mengizinkan. Berusaha bermati-matian pun kita tidak akan berjaya jika Allah SWT tidak mengizinkan. Oleh itu, janganlah kita sombong dan berbangga diri serta riak dengan kejayaan yang kita perolehi. Sesungguhnya jika Allah SWT tidak mengizinkan, semua itu tidak mungkin menjadi milik kita. Sesungguhnya sombong, riak dan berbangga dengan kejayaan diri sendiri, semua itu sifat syaitan laknatullah.
Wallahu'alam.
Terkadang Yang Mendzalimimu adalah Yang Paling Membutuhkanmu!
Bertahun-tahun setelah saudara-saudara Yusuf membuang beliau ke dasar sumur, mereka datang ke suatu Negeri untuk meminta belas kasih kepada penguasa disana. Dan tak disangka-sangka, penguasa Negeri itu ternyata adalah saudara yang pernah mereka buang di waktu kecilnya.
Allah swt menceritakan dialog mereka dengan Nabi Yusuf as,
أَيُّهَا الْعَزِيزُ مَسَّنَا وَأَهْلَنَا الضُّرُّ وَجِئْنَا بِبِضَاعَةٍ مُزْجَاةٍ فَأَوْفِ لَنَا الْكَيْلَ وَتَصَدَّقْ عَلَيْنَا
“Hai Al Aziz, kami dan keluarga kami telah ditimpa kesengsaraan dan kami datang membawa barang-barang yang tak berharga, maka penuhilah jatah (gandum) untuk kami, dan bersedekahlah kepada kami.” (QS.Yusuf:88)
Ayat ini menyimpan pelajaran yang begitu dalam dan berharga.
Terkadang seorang yang menghalangi jalan kita atau berusaha menjauhkan kita dari kebaikan dan menjerumuskan kita pada jurang keburukan, suatu saat ia akan butuh dan mengemis kepada kita. Yaitu ketika roda kehidupan ini berputar dan kejayaan berada di pihak orang-orang yang teraniaya.
وَتِلْكَ الْأَيَّامُ نُدَاوِلُهَا بَيْنَ النَّاسِ
“Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu Kami pergilirkan diantara manusia.” (QS.Ali Imran:140)
Maka jangan pernah merendahkan dan mendzalimi orang lain, karena kita tidak pernah tahu rahasia waktu. Bisa saja kelak kita menjadi orang yang paling membutuhkan seorang yang pernah kita dzalimi dulu.
Dan jangan pernah pesimis jika kehidupan belum berpihak kepada kita, karena roda nasib akan selalu berputar, kita hanya dituntut untuk berusaha dan menanti gilirannya.
Semoga bermanfaat…
Allah swt menceritakan dialog mereka dengan Nabi Yusuf as,
أَيُّهَا الْعَزِيزُ مَسَّنَا وَأَهْلَنَا الضُّرُّ وَجِئْنَا بِبِضَاعَةٍ مُزْجَاةٍ فَأَوْفِ لَنَا الْكَيْلَ وَتَصَدَّقْ عَلَيْنَا
“Hai Al Aziz, kami dan keluarga kami telah ditimpa kesengsaraan dan kami datang membawa barang-barang yang tak berharga, maka penuhilah jatah (gandum) untuk kami, dan bersedekahlah kepada kami.” (QS.Yusuf:88)
Ayat ini menyimpan pelajaran yang begitu dalam dan berharga.
Terkadang seorang yang menghalangi jalan kita atau berusaha menjauhkan kita dari kebaikan dan menjerumuskan kita pada jurang keburukan, suatu saat ia akan butuh dan mengemis kepada kita. Yaitu ketika roda kehidupan ini berputar dan kejayaan berada di pihak orang-orang yang teraniaya.
وَتِلْكَ الْأَيَّامُ نُدَاوِلُهَا بَيْنَ النَّاسِ
“Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu Kami pergilirkan diantara manusia.” (QS.Ali Imran:140)
Maka jangan pernah merendahkan dan mendzalimi orang lain, karena kita tidak pernah tahu rahasia waktu. Bisa saja kelak kita menjadi orang yang paling membutuhkan seorang yang pernah kita dzalimi dulu.
Dan jangan pernah pesimis jika kehidupan belum berpihak kepada kita, karena roda nasib akan selalu berputar, kita hanya dituntut untuk berusaha dan menanti gilirannya.
Semoga bermanfaat…
Kebaikanmu Tak Akan Sia-Sia
Allah swt berfirman,
إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ إِنَّا لَا نُضِيعُ أَجْرَ مَنْ أَحْسَنَ عَمَلًا
“Kami benar-benar tidak akan menyia-nyiakan pahala orang yang mengerjakan perbuatan yang baik itu.” (QS.Al-Kahfi:30)
Hiasi seluruh perbuatan kita dengan kebaikan..
Hiasi badan kita dengan kerinduan dan rasa takut…
Hiasi pemberian kita dengan keikhlasan tanpa pamrih…
Dan hiasi musibah kita dengan kesabaran dan ketabahan..
Karena pahala akan selalu bertambah dengan perbuatan baik.
Maka cukuplah menjadi kebanggan bagi kita bahwa Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik.
إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
“Sungguh, Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik.” (QS.Al-Baqarah:195)
Semoga bermanfaat….
إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ إِنَّا لَا نُضِيعُ أَجْرَ مَنْ أَحْسَنَ عَمَلًا
“Kami benar-benar tidak akan menyia-nyiakan pahala orang yang mengerjakan perbuatan yang baik itu.” (QS.Al-Kahfi:30)
Hiasi seluruh perbuatan kita dengan kebaikan..
Hiasi badan kita dengan kerinduan dan rasa takut…
Hiasi pemberian kita dengan keikhlasan tanpa pamrih…
Dan hiasi musibah kita dengan kesabaran dan ketabahan..
Karena pahala akan selalu bertambah dengan perbuatan baik.
Maka cukuplah menjadi kebanggan bagi kita bahwa Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik.
إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
“Sungguh, Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik.” (QS.Al-Baqarah:195)
Semoga bermanfaat….
Subscribe to:
Posts (Atom)